SIMALUNGUN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN TUGU DI
SIMALUNGUN
3.1 Simalungun dan Gambaran Umum Wilayah
Simalungun
3.1.1
Arti dan Makna Kata Simalungun
Arti
kata Simalungun masih sering menjadi bahan perbincangan yang hangat. D.Kenan
Purba dan J.D. Poerba dalam bukunya yang berjudul Sejarah Simalungun yang mencantumkan beberapa pendapat berkaitan dengan nama Simalungun. Pendapat
Drs. Urich H. Damanik: Simalungun berasal dari kata si-malungun. Secara etimologis ia menerangkan bahwa Si sebagai kata penunjuk, Ma adalah awalan dan Lungun yang artinya sunyi atau rindu. Malungun berarti yang sunyi atau yang dirindui.[1]
T.Ms. Purbaraya menjelaskan bahwa Simalungun berasal dari kata silou-ma-lungun. Ia menghubungkan nama
Simalungun dengan sejarah runtuhnya kerajaan Silou Tua sebagai lanjutan dari
Kerajan Nagur. T.B.A Purba Tambak menjelaskan bahwa Simalungun berasal dari
kata Simou dan lungun berarti sunyi atau lengang. Kesunyian atau kelengangan itu
disebabkan oleh keadaan wilayah yang dulunya terdiri dari hutan belantara dan
penduduknya hampir tidak kelihatan. D. Kenan Purba SH berpendapat bahwa kata
Simalungu berasal dari kata sim-lungun.
Sima berarti sisa dan lungun berarti
kesedihan, maka Simalungun artinya sisa
dari kesedihan.[2]
Asal
kata Simalungun berasal dari bahasa Simalungun. Pokok kata Simalungun
ialah lungun artinya sunyi atau sepi. Kata-kata ini dipergunakan pada
umumnya diwaktu mengalami sendiri suasana yang sepi. Bila pengalaman itu
diceritakan ditempat lain pada orang lain, menurut tata bahasa Simalungun
ditambah dengang kata “ma” lengkapnya disebut “Malungun”. Kata tunjuk lungun
ialah “ma” berarti kata penunjuk bagi suatu yang keadaanya sunyi atau sepi.
Maksudnya semula untuk menerangkan situasi daerah yang sunyi sepi
tersebut.dalam perkembangan tata bahasa Simalungun, bila kata sebutan tentang
sesuatu benda atau wilayah menjadi nama, biasanya ditambah dengan “si”. Umpamanya si Anu, si bergabung
menjadi suku kata, seperti Si Marjarunjung (Simarjarunjung). Dalam hal ini
sebutan malungun disebut Simalungun
waktu bercerita terhadap orang lain. Malungun
memberi dua pengertian yaitu:
1.
Suatu perasaan terhadap seseorang
2.
Memberikan pengertian atas suatu keadaan suatu tempat
atau daerah.[3]
Sampai
sekarang telah muncul beberapa pendapat tentang asal-usul istilah
Simalungun terutama dari putra daerah
Simalungun sendiri. Namun demikian, belum ada keseragaman pendapat mengenai hal
tersebut. Yang jelas, istilah “Simalungun” dipergunakan untuk menunjukkan salah
satu puak dari Suku-bangsa Batak yang berdiam di sekitar sebelah Timur Danau
Toba; yang mempunyai bahasa daerah sendiri, kebudayaan daerah sendiri, aksara
sendiri dan kekhususan-kekhususan lainnya. Karena kediamannya sebelah Timur Danau
Toba maka orang Barat sering menyebutnya Simalungun sebagai Batak Timur. Selain
itu ia disebut juga Simalungun, Simelungun, Sebelungun. Namun orang Simalungun
sendiri menyebut dirinya Simalungun. Keragaman penyebutan yang demikian ini
menyebabkan Pemerintah Daerah Simalungun melalui lembaga DPRD telah memutuskan
bahwa Kabupaten yang ibukotanya Pematang Siantar tersebut adalah bernama
KABUPATEN SIMALUNGUN. [4]
Sebelumnya
peggunaan kata Simalugun memiliki beberapa pendapat. Namun pada akhirnya
Pemerintah Daerah Simalungun melalui lembaga DPRD menetapkan ibukota Pematang Siantar
adalah Kabupaten Simalungun. Akar Kata Simalungun adalah lungun artinya sunyi atau sepi. Kata-kata ini dipergunakan pada
umumnya di aktu mengalami suasana yang sepi dan juga sebagai pengertian atas
suatu keadaan tempat atau daerah. Sebab wilayah itu dulunya terdiri dari hutan
belantara dan penduduknya hampir tidak kelihatan
3.1.2 Gambaran Wilayah Geografis Simalungun
Kabupaten
Simalungun terletak anatara 02036’-0301’ Lintang utara,
dan berbatasan dengan lima kabupaten tetangga yaitu; Kabupaten Serdang Bedagei,
Kabupaten Karo, Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir dan Kabupaten Asahan. Wilayah
Simalungun mempunyai luas 4.386.6 km2 atau 6,12% dari luas wilayah provinsi
Sumatera Utara. Jumlah penduduknya sampai pada tahun 2008 adalah sebanyak
841.189 jiwa, yang terdiri dari 31 Kecamatan dan 202 desa.[5]
Simalungun membentuk mulai titik batas di puncak bukit hingga
berangsur-angsur menurun dan menyentuh pantai timur Danau Toba. Beberapa gunung
seperti dolok Mardinding, Marpalatuk, Sisae-sae, Batu loting dan Simanuk-manuk
merupakan gunung-gunung yang memisah Simalungun dari wilayah Tapanuli dan
Asahan. Sementara di Gunung Sipiso-piso, Singgalang dan Gunung Simbolon menjadi
tapal batas antara wilayah Simalungun dan Karo.[6]
Beberapa di antaranya adalah gunung Singgalang dan gunung Simbolon yang
dianggap suci oleh masyarakat hingga kini.[7]
Dengan demikian batas-batas Geografis wilayah Simalungun adalah sebelah Utara dengan
Deli Serdang, sebelah Timur dengan Asahan, sebelah Barat dengan tanah Karo dan
sebelah Selatan dengan Tapanuli Utara.[8] Letak
gunung pada umumnya di atas pegunungan Simanuk-manuk yaitu gunung Sijambak
Bahir (2245 m), Gunung Simarjarunjung (2100 m), dan Gunung Singgalang
Seribudolok, Gunung Sipiso-piso di perbatasan Simalungun- Karo dan Gunung Simbolon
(2125 m) sekitar Raya. Sungai yang terbesar adalah Bah Bolon mengalir dari
pegunungan Simanuk-manuk melalui wilayah Sidamanik lintas di tengah-tengah kota Pematang Siantar
terus ke Perdagangan bertemu dengan Bah Tongguran, bermuara di laut Selat
Malaka (Kuala Tanjung).[9]
3.1.3 Filosifi Hidup Orang Simalungun
Budaya
terdiri dari adat istiadat. Berdasarkan hasil seminar budaya yang diadakan,
maka ditetapkan dasar budaya Simalungun adalah habonaron do bona yang artinya kebenaran adalah pangkal. Dan
filosofi ini telah dijadikan sebagai motto lambang kabupaten Simalungun. Begitu
juga dengan “Sapangambei manoktok hitei”
yang artinya adalah bersama-sama membangun jembatan atau gotong royong/bahu-membahu
untuk membangun.[10] Falsafah
budaya Simalungun tercermin pada “tolu
sahundulan lima
saodoran”. Tolu sahundulan artinya
tiga pada satu tempat yaitu, sanina,
tondong[11],
boru. Semboyan tolusahundulan sama artinya dengan sanina pangalopan riah, tondong pangalopan podah, boru pangalopan gogoh.
Marsanina ningon pakkei, manat. Martondong
ningon hormat, sombah dan marboru
ningon elek, pandei.[12]
(pihak yang semarga sebagai tempat bermusyarah, pihak marga pemberi istri
sebagai pemberi Nasehat, kepada teman semarga harus sopan, berhati-hati. Kepada
pihak marga pemberi istri harus tetap hormat dan kepada pihak kelompok marga
lelaki yang mengawini putri marga pemberi istri harus berpengertian)
Ada suatu pemahaman yang
sangat kental pada keyakinan leluhur orang Simalungun, bahwa Naibata Maha Kuasa, Maha adil dan Maha
benar. Manusia juga dituntut untuk besikap benar dan segala sesuatu harus
didasarkan kepada hal yang benar. Itulah prinsip dasar dari filosfi habonaron do bona. [13]
Arti harafiah habonaron do bona
adalah kebenaran adalah dasar dari segla sesuatu yaitu mereka menganut aliran
pemikiran dan kepercayaan bahwa segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran,
sehingga baik bagi semua pihak, di mana mereka dituntut senantiasa harus
menjaga kejujurannya di hadapan semua manusia. Secara umum prinsip habonaron do bona menanamkan
kehati-hatian, hidup bijaksana, matang dalam berencana sehingga tidak terjadi
penyesalan dikemudian hari.[14]
Menurut
MD Purba sebagai penjabaran habonaron do
bona dapat disebutkan dalam 8 nilai kebenaran yang dianut pada saat itu
yakni:
1.
Berpandangan yang benar
2.
Berencana (berniat) yang benar
3.
Berbicara yang benar
4.
Bekerja yang benar
5.
Berpenghidupan (berprinsip) yang benar
6.
Berusaha (berkarya) yang benar
7. Berperhatian (berkonsentrasi)
yang benar
8. Berpikiran yang benar.[15]
Habonaron do bona merupakan salah satu dasar dari budaya
Simalungun. Ungkapan tersebut telah dijadikan sebagai motto lambang Kabupaten Simalungun.
Arti hanonaron do bona adalah
pangkal. Atau dapat disebut Kebenaran adalah dasar dari manusia untuk
bertindak. Manusia dituntut untuk selalu bersikap berhati-hati dalam ucapan dan
perbuatan, bersiakap bijaksana dan selalu mengutamakan kebenaran dalam setiap
hal. Dan habonaron do bona ini
tercermin dalam tolu sahundulan lima saodoran.
3.1.4 Sistem Kekerabatan Orang Simalungun
Orang Simalungun membubuhkan nama marga Bapaknya dibelakang nama kecilnya.
Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai
kakek bersama, atau orang yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari
seorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilenial. Anggota dari satu marga
dilarang kawin. Semua orang yang semarga adalah orang yang berkerabat dan
dengan orang yang berlainan marga juga bisa dicari kaitan kekerabatan, karena
mungkin saja dia mempunyai hubungan kekerabatan dengan bibi, paman, saudara
lain melalui hubungan perkawinan.
Hubungan kekerabatan menyangkut jauh
dekatnya relasi seseorang (individu) dengan orang lain. Untuk menentukan jauh
dekatnya seseorang dalam kekerabatan menurut adat-istiadat Simalungun kriteria
yang digunakan adalah garis keturuna pihak laki-laki (ayah) dan pertalian
“darah” akibat perkawinan (dari pihak perempuan). Di samping itu masih ada
hubungan kekerabatan yang diperhitungkan melalui “keibuan” (bilineal discent) karena kelompok
keluarga ibu menduduki posisi sangat penting sebagai tempat meminta berkat.
Oleh karena itu terdapat hubungan erat antara kelompok ayah dengan kelompok
keluarga ibu. Dengan system kekerabatan seperti itu maka kelompok kekerabatan
orang Simalungun dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: kelompok keluarga inti
(Suami, istri dan anak-anak yang belum kawin), kelompok di luar keluarga inti
(kerabat ayah atau kerabat ibu), dan kelompok keluarga luas (hubunguan
kekerabatan akibat adanya perkawinan antara suami dan istri yang menjadi
kelompok keluarga yang lebih besar merupakan gabungan kerabat suami dan istri).
Masyarakat Simalungun memiliki
susunan lembaga adat yang terkenal dalam nama tolu shundulan dan lima saodoran, kelompok
yang tergolong dalam tolu sahundulan adalah tondong (kelompok kerabat istri), sanina (sanak saudara satu keturunan/marga), dan anak boru (pihak ipar). Kelompok yang
tergolong dalam lima saodoran
adalah tondong, sanina, anak boru,
tondong ni tondong, (kelompok pemberi istri kepada tondong) anak boru mintori (kelompok
boru dari pihak ipar). Dalam upacara adat, orang Simalungun dengan sendirinya
akan mengerti di mana seseorang mesti duduk atau menempatkan diri. Demikian juga
dalam kehidupan sehari-hari orang Simalungun yang sudah dewasa akan mengerti
kewajiban atau sikap seperti apa yang harus dibuat pada kerabat sesuai dengan
posisi masing-masing.[16]
3.2 Kepercayaan Asli Orang Simalungun
Pada
umumnya agama suku meyakini bahwa roh-roh itu merupakan mahkluk-mahkluk yang
tidak bisa dilihat tetapi pada hal-hal tertentu kadang-kadang dapat dilihat
memiliki tubuh sendiri. Orang-orang suku Timur Tengah mempercayai bahwa jin-jin
adalah makluk supranatural yang dapat mengambil rupa manusia atau binatang.
Umumnya dipercayai bahwa ada tiga sifat roh yang dikenal agama suku antara
lain: roh yang bersifat baik roh yang bersifat jahat dan roh yang memiliki
keduanya sifat yang baik dan jahat. Baik roh yang berasal dari roh-roh orang
yang baik ketika masa hidupnya.[17]
Suku Batak juga menghormati roh-roh mati bukan saja melalui pemberian makanan
yang enak buat roh-roh itu, tetapi juga dengan membangun buat mereka monumen,
kuburan yang sangat mahal sekali, yang disebut dengan tugu. Jadi hidup
ketergantungan antara orang yang mati dan yang hidup sangat penting sekali bagi
masyarakat suku dan itu sebabnya orang yang tidak memiliki keturunan sangat
takut sekali kepada kematian . karena nantinya rohnya tidak akan dihormati oleh
orang –orang yang hidup, khususnya karena ketiadaan keturunan.[18]
Menurut Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa penduduk daerah Simalungun,
sebagian besar belum beragama. Yang dimaksud dengan agama di sini ialah kepercayaan
akan Tuhan Yang Maha Esa atau Monotheisme, seperti agama Islam dan Kristen.
menurut dugaan sampai saat ini, dapatlah dikatakan bahwa penduduk yang telah
beragama ada kira-kira setengah dari jumlah penduduk, yaitu sebagian memeluk
agama Kristen dan sebagian lagi memeluk agama Islam.Demikianlah kebanyakan dari
penduduk masih Percaya akan roh nenek moyang, pohon-pohon keramat,
tempat-tempat keramat dan Parsinumbahan
menurut istilah di tempat itu. Dengan perkataan lain sebagian besar dari
penduduk masih Parbegu. Setelah kita merdeka, maka rakyat
kian hari kian terbuka kearah kemajuan disegala lapangan inklusif agama.
Sebagai akibatnya dari hari ke hari penduduk yang tadinya parbegu berangsur –angsur memeluk agama yang ber-Tuhan satu, yaitu
Kristen dan Islam.[19]
Jahutar Damanik menjelaskan bahwa di wilayah Simalugun masih terlihat
sisa ajaran ibadat Baal, terutama bagi datu-datu dalam upacara, hal ini misalnya
tampak dalam membuat suatu parsilih
dari bahan batang pisang yang dibentuk sedemikian rupa, mirip bentuk manusia. Parsilih dianggap mempunyai tengag gaib
(roh) atas panggilan mantera datu. Ada sebuah keyakinan bahwa
tenaga gaib berkuasa mengelakkan kesukaran, menyembuhkan penyakit dan
mendatangkan rejeki bagi keluarga.. Dahulu
juga dikenal dengan mendirikan bangunan tempat korban persembahan (anjab-anjab), yaitu sebuah altar sebagai
meja tempat korban persembahan, di puncak bukit yang tertinggi disekitarnya.
Upacara persembahan tersebut dapat dilangsungkan perseorangan atau keluarga
yang bertujuan untuk mengharapkan panen yang berlimpah, menjauhkan bala, dan
mohon datang hujan. Selain upacara keagamaan tersebut masih terdapat upacara
lain yang membuat makna religius dari praksis agama asli Simalungun yakni, pesta rondang bintang yang
mempersembahkan korban dari binatang peliharaan terpilih disertai nitak yang sudah diolah dalam ramuannya.
Lalu datu memanjatkan doa (mantra)
dengan perantaraan roh nenek moyang (simangot
ni ompu) terhadap Naibata I Nagori
atas upacara ini dilakukan untuk mengucapkan syukur atas anugerah Tuhan
yang telah mereka peroleh. Selain itu masih ada upacara lain yang memuat
dimensi religio-cultural, misalnya: parsiarhon
(kesurupan),dan parsinumbahan (tempat
keramat) Kedua cara itu untuk memohon sesuatu yang diharapkan, melalui orang
yang kesurupan atau pemantauan seorang datu
maupun mengunjungi tempat tertentu yang diangap keramat. [20]
Di pihak lain untuk mengetahui agama asli orang Simalungun tidaklah
begitu mudah. Namun dapat dilihat apa yang disebutkan para penerjemah Alkitab
kedalam bahasa Simalungun dan juga terhadap lagu-lagu Simalungun tentang apa
yang dulunya dipercayai oleh masyarakat Simalungun. Yaitu: Parbegu, Sisombah Gana-gana, sipajuh Begu-begu (Kis 13:46-48) dan
dalam Buku Doding Haleluya GKPS No.54
menyebutkan puho ma perbeg-begu ase lihar nasiam…dst, dan Haleluya No.144
menyebutkan: bolak open a golap in, bai
bangsa na i atas tanoh on, sibolis do na manrajai in, isombah halak begu-begu in..dst. Ada data yang menyebutkan
bahwa Zendelinglah yang pertama memakai nama Parbegu untuk menyebut nama asli orang simalungun.[21]
Dan kita harus akui bahwa Simalungun
percaya akan adanya kuasa tertinggi yang mencipta langit dan bumi ini. pencipta itu mereka
sebut Naibata, sedangkan masyarakat umum memuja Sumagod (Roh leluhur satu kelompok marga ) Tonduy Jabu (roh nenek moyang satu Keluarga ) dan Sinumbah (roh sakti yang dipercaya
menghuni suatu lokasi sehingga disebut sebagai tempat keramat).[22]
Dan di wilayah Simalungun Khusus bagi orang-orang Simalungun dikenal dengan
Istilah sipajuh begu-begu.[23]
Dalam kepercayaan suku simalungun jug
ada terihat ajaran ibadat baal[24],
terutama bagi Datu-datu dalam
upacara. umpanya membuat suatu parsilih dari bahan batang pisang, dibentuk
sedemikian rupa mirip bentuk manusia
yang dianggap mempunyai tenaga gaib atas panggilan mantera datu. Dimana
tenaga gaib tersebut dianggap berkuasa mengelakkan, menyembuhkan penyakit dan
mendatangkan rejeki bagi seseorang.[25]
Menurut T. B. A. Purba Tambak, agama
asli dalam bahasa Simalungun disebut parbegu
atau sering disebut animisme, yang masih berlangsung dan tetap ada hingga
pertengahan abad ke-20. upacara-upacara tersebut pada umumnya dimaksudkan untuk
menolak bala, menyembuhkan penyakit, menghindarkan bahaya maut bagi yang sudah
lama mengidap penyakit (buang jakka),
dan mengusir setan (begu-begu nasotokka).[26]
Sehinnga dapat terlihat bagaimana
dulunya kepercayaan suku Simalungun yang meyakini ada kekuatan tertinggi di
luar dari dirinya sendiri. Sehingga mereka sering menyembah hal-hal yang
demikian. Salah satunya adalah kepercayaan terhadap Naibata, memuja sumagod
(Roh leluhur satu kelompok marga ) Tonduy Jabu (roh nenek moyang satu
Keluarga ) dan Sinumbah (roh sakti
yang dipercaya menghuni suatu lokasi sehingga disebut sebagai tempat keramat.
Dan juga masyarakat Simalungun dikenal dengan parbegu yang diyakini dapat melindungi setiap orang yang menyembah
kepadanya. Dan ada hal lain yang sering di lakukan oleh masyarakat Simalungun
yaitu pasiarhon (kesurupan), diyakini
bahwa melalui orang yang kesurupan mereka mendapatkan suatu nasehat, pesan penting yang harus
dilakukan atas apa yang sudah diperintahkannya.
3.3 Adat Istiadat Simalungun
3.3.1
Adat Memindahkan Tulang-Belulang
Sebenarnya
budaya Simalungun tidak ada acara adat “mangongkal
hol na dob matei” (menggali tulang belulang yang sudah meninggal) sebab
yang ada hanya “paturehon panimbunon”
(memperbaiki kuburan). Jadi adat menggali tulang belulang merupakan adat yang
baru, sebagai pengaruh adanya percampuran budaya dengan puak lain (Toba).[27] Adapun
yang menjadi penyebab pemindahan tulang belulang adalah kemungkinan pada saat
orang tua meninggal terpaksa dimakamkan pada tempat terpisah dari kuburan
keluarga karena situasi yang tidak mendukung, mungkin di antara keturunan ingin
mempersatukan beberapa orang tua yang sudah meninggal dalam satu pemakaman dan
mendirikan tugu serta alasan masyarakat Simalungun memindahkan tulang belulang
kemungkinan karena terancam longsor atau perluasan kota dan yang terakhir
adalah karena mungkin pemakaman bapak/ibu terpisah. Adat memindahkan tulang
belulang ini boleh dilakukan kepada seseorang yang meninggal sari matua dan sayur matua.[28]
Acara ini meliputi dua bagian yang pertama membangun pemakaman baru dan kedua
memasukkan tulang belulang kedalamnya. Dalam acara memidahkan tulang-belulang
ini hasuhuton menyampaikan
seperangkat sirih pada tondong pamupus almarhum. Tujuannya mohon ijin
agara tondong pamupus memberi nasehat
pelaksanaan. Lalau tondong pamupus memberi
nasehat sekaligus memegang cangkul dan menggali tiga kali cangkul tanda
persetujuan. Cara menggali oleh tondong
pamupus diikuti tondong lainnya
serta hasuhuton dan cucu-cucu almarhum, kemudian
diselesaikan oleh boru. Lalu tulang
belulangnya diserahkan kepada tondong
pamupus untuk diletakkan pada kain putih yang telah digendongkannya.
Setelah selesai, tulang belulangnya dibersihkan dengan air yang telah dicampur
dengan jeruk purut kemudian disusun dalam tapongan yang beralaskan gendongan
tadi dan ditutup dengan kain putih dan tulang belulangnya disusun di dalam peti
seperti sedia kala. lalu Liang kubur ditutup kembali dan di atasnya ditanam
pisang kapuk. Satu di atas kepala dan satu lagi di atas letak tumit.[29] Setelah
itu baru dipindahkan dalam pemakaman baru. Adapun arti dari ditanamnya pisang
tersebut adalah supaya seluruh kehidupan keturunanya seperti tumbuhnya pisang
tersebut yaitu bertumbuh, beranak cucu dan berbuah. Sebab memang menurut
pandangan orang Simalungun seluruh bagian dari pisang itu bermamfaat.[30] Yang
berikut adalah acara pesta peresmian kuburan. Adapun acara pesta kuburan ini
disebut juga “pesta semen” terdiri dari beberapa kegiatan yang pada garis
besarnya adalah:[31]
1.
Acara “horja manurun” (menguburkan kembali)
Sebelum
horja manurun dilakukan, tulang belulang dimasukkanke dalam peti kayu yang
telah tersedia, lalu dengan upacara khusus dimasukkan peti itu ke dalam kuburan
yang baru. biasanya dalam acara ini didahului dengan doa dari pihak tondong
atau pengurus Gereja. Sekembalinya rombongan dari kuburan yang baru, maka
mereka akan disambut dengan bunyi gendang, lalu semua Suhut menari bersama diikuti setelah selesai baru dilanjutkan oleh
boru..
2.
Menerima tamu undangan
Rombongan
tamu undangan yang pertama menari adalah semua tondong, boleh sekaligus semua yang disebut tondong tetapi bisa juga masing-masing menurut rombongan, mulai
dari “,tondong pamupus, tondong jabu,
tondong bona, tondong mangihut,dan tondong
ni tondong, masing-masing membawa beras seperlunya. Dalam acara ini
biasanya rombongan tondong memberikan
hiou adat (kain adat) sesuai dengan
persiapan masing-masing. Dan rombongan yang lain seperti sanina, boru, dan anak boru
mintori memberikan tuppak (sejumlah
uang sebagai sumbangan)
3.
Makan bersama
Pada
acara ini biasanya semua keluarga dekat dan panitia berkumpul, untuk
menyelesaikan pikiran-pikiran tentang biaya kepada suhut ni horja (yang punya pesta). Biasa juga di adakan acara makan
bersama sebagai ucapan terimakasih kepada semua orang yang telah letih bekerja
demi suksesnya suatu pesta.
3.4 Konsep tentang Tonduy dan Tuah
Orang
Simalungun percaya bahwa roh orang yang meninggal tidak mati, melainkan beralih
kepada suatu keadaan yang disebut dengan tonduy.
Ia dapat dipanggil sewaktu melalui ritual khusus. Tonduy dipercaya dapat mendatangkan berkat apabila ia diperdulikan
dan juga sebaliknya.[32] Hampir
seluruh pelaksanaan adat pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari religi
yang dianut dalam masyarakat-adat yang bersangkutan. Untuk masyarakat
Simalungun, ada konsep tentang tonduy dan tuah. Suatu ungkapan menyatakan: martonduy na manggoluh, marbegu na dob
matei, artinya, bahwa manusia yang hiduplah yang mempunyai roh, sementara
orang yang sudah meninggal rohnya berubah menjadi semacam hantu. Belakangan ini
konsep ini berubah sedemikian rupa sehingga orang meninggal sudah dianggap
mempunyai roh (tonduy) yang harus dihormati.[33]
Bagi masyarakat Simalungun tuah, tonduy dan begu mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Tonduy tidak pernah mengganggu makhluk lain, tetapi sebaliknya begu yang mengganggu makhluk hidup.
Kebahagian manusia dan keberuntungannya dalam kehidupan di dunia ini ditentukan
oleh tonduy. Istilah “pinindo” jelas menggambarkan adanya
relasi antara kemauan tonduy dan
kemauan manusia atas kenyataan-kenyataan hidup yang dihadapi dalam hal-hal
tertentu. Dipahami juga bahwa tonduy dapat
meninggalkan tubuh. Sehingga untuk membujuk kembali agar tonduynya dapat kembali maka
diperlukan usaha-usaha tertentu di antaranya: maranggir, padaskan sir ni uhur (memakan makanan yang dihajatkan), dan manonggot-nonggot. Kemarahan tonduy
terhadap tubuh bukannya disebabkan oleh perbuatan-perbuatan yang jahat,
melainkan perbuatan yang tidak mengacuhkan keinginan tonduy. Bisa saja tonduy mendukung seseorang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tercela tanpa mengganggu keseimbangan antara tubuh dan tonduy. Berdasarkan perbedaan tersebut
dibuatlah mambere-berean dan membuat
tangkal. [34]
Seseorang
yang banyak anak, banyak harta dan tinggi martabat biasanya disebut martuah. Tuah ini dapat dipindahkan
kepada orang lain. Tonduy (sebenarnya begu-begu) orang seperti ini setelah ianya meninggal sering dipuja
atau disembah (sinumbah) dengan acara-acara khusus. Dalam Kristen masyarakat
Simalungun sekarang ini pun masih sering kita lihat sisa-sisa acara/usaha meminta tuah
dari nenek moyang yang telah meninggal baik acara yang dilakukan di
pekuburan maupun acara penguburan itu sendiri.
Nampaknya seolah-olah hanya bersifat penghormatan kepada orang tua,
tetapi pada hakikatnya berwujud permintaan
tuah dari orang yang telah meninggal.[35]
Dari pemahaman di atas jelas
terlihat bagaima keyakinan akan orang Simalungun tentang adanya tonduy atau roh orang yang telah
meninggal. Bahwa sebenarnya orang yang meninggal tersebut roh nya berubah jadi
hantu. Itu sebabnya masyarakat Simalungun meyakini mereka masih dapat
berkomunikasi dengan meninggal tersebut melalui acara khusus. Tonduy dapat memberikan yang baik jika
memang mereka dperlakukan dengan baik begitu juga sebaliknya.
3.5 Pemahaman Masyarakat Simalungun terhadap Penguburan
Anggapan
orang Simalungun bahwa roh-roh orang mati masih hidup disuatu tempat dan akan
selalu sehat-sehat kalau ia din puja keluarganya, sehingga tak heran jika para
zendeling pada masa penginjilan mendapat kritikan tajam. Bagi para zendeling
hungungan antara orang yang masih hidup dan mati sudah tidak ada lagi. Tuhan
tidak pernah menganjurkan supaya orang hidup melakukan pemujaan kepada roh-roh
orang meninggal melainkan hanya kepada Allah saja. Sebab Tuhan adalah bagin
orang yang hidup dan yang mati.[36]
Orang Simalungun tidak terima jika kuburan yang terkena siasat dikuburkan
didekat perkampungan atau kuburan umum. Karena ada pemahaman bagi orang
Simalungun bahwa rohnya akan mengganggu kehidupan penduduk. Itu sebabnya orang yang terkena siasat akan
dikuburkan jauh dari perkampungan karena dipandang dia bukan orang yang baik.
Itu sebabnya ada kuburan orang yang dianggap baik dan ada kuburan bagi orang
yang dianggap jahat.[37]
Didalam pelayanan penguburan dipandang sebagai bagiann dari tugas gerja yang
tidak dapat dipandang sebelah mata. Bagi GKPS, tujuan penguburan adalah untuk
memberitakan firman Tuhan tentang kematian dn kebangkitan serta memberi
penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan.[38]
Itulah sebabnya jika ada amggota keluarga jemaat meninggalGereja akan
mewartakannya pada kebaktian minggu. Selama jenazah belum dibawa ke pemakaman,
gereja mnegadakan kebaktian penghiburan. Itu didasarkan atas mufakat antara
pihak keluarga yang meninggal dengan Majelis Jemaat setempat. Pendetalah yang
melaksanakan pelayanan pengubran, tetapi tugas itu bisa juga diserahkan kepada
para penatua Gereja. Dalam agama suku, kematian bukanlah akhir dari segalanya.
Melainkan beralih kepada suatu keadaan yang disebut dunia roh-roh atau dunia tonduy ini berada di huta parsaranan parpudi (kampong peristirahatan
terakhir)
Setelah
hal ini muncullah persoalan yang dihadapi oleh GKPS disekitar penguburan yang
menyangkut kebiasaaan mangongkal holi (memindahkan tulang-belulang dari tempat
lam ke tempat baru yang dibangun dengan biaya yang tidak sedikit). Apakah
Alkitab membenarkan kegiatan seperti ini? Bagi mereka yang menerima biasanya
mengacu kepada Musa yang membawa tulang-belulang Yusuf daari Mesir ke Tanah
Kanaan (Kel.13:19). Masalahnya kemudian muncul ketika pengerja jamaat melihat
bahwa kegiatan nmangongkal holi itu sarat dengan ritual agama lama. Akhirnya
GKPS merumuskan pemikiran teologisnya bahwa tulang belulang orang meninggal
juga berharga bagi Tuhan. Dari pemahaman yang seperti ini dapatlah diterima
kegiatan mangongkal holi dengan
catatan , kegiatan itu dipahami hanya sebagai memindahkan tulang belulang atau
tempat kuburannya tanpa melakukan ritual agama lain.[39]
Ketika
A. Theis tiba di Pematang Raya 2
September 1903, pada saat yang sama berlangsung upcara penguburan terhadap tuan
Rondahaim Saragih,Raja Raya yang di juluki tuan na mabajan, artinya tuan yang sangat jelek dan kejam. Bgai A.Theis
upacara penguburan ini menunjukkan betapa kegelapan menguasai orang Simalungun,
karena yang mereka laukukan adalah pekerjaan kekafiran. Penguburan tuan Rondahaim
merupakan orang Kristen yang pertama di Pematang Raya yang menarik bagi A.
Theis. A. Theis masih mengijinkan kepada keluarga melakukan upacara adat
seperti: menari disekitar jenazah dan member makan terahir kepadanya, namun
mereka tidak diizinkan untuk melakukan ritual pemujaan roh-roh.[40]
Namun
dalam kenyataannya tetap saja ritual pemujaan roh-roh itu tidak sepenuhnya
hilang., meski dalam bentuk yang berbeda. Dalam agama suku, orang tua dan tondong (saudara istri) dipandang
sebagai pembawa berkat, jadi ketika meninggal, roh mereka masih dianggap hadir
memberi berkat dengan melakukan ritual khusus. Kini setelah pemujaan kepada
berhala mulai terkikis Allah yang dipercaya orangKristen itulah pemberi
berkat. Dengan demikian Allah yang kini
dipercaya lebih berkuasa dari orang tua atau tondong. Kematian tidak lagi dipandang sebagai peristiwa yang
menakutkan dan membuat putus asa keluarga yang ditinggalkannya. Kematian tidak
menghalangi kuasaAllah memberi berkat kepada orang yang percaya kepadanNya.
Itulah sebabnya dalam peristiwa kematian, nyanyian-nyanyian gerejawi selalau
dikumandangkan,baik sebelum jenajah dibawa ke pemakaman maupun setelah acara
pemakaman.
Dalam kepercayaan orang Simalungun,
roh orang yang meninggal itu akan mendiami suatu tempat yang disebut huta parsadaan parpudi. Karena tempat
itu sangat jauh dibumi, keluarga yang ditinggalkan dan kerabat orang meninggal
itu diminta memberi bekal perjalanan kepada roh itu. Dalam perayaan upacara
penguburan terutama pada orang tua yang berumur (sarimatua dan saur matua), biasanya diadakan pesta yang
meriah. Apalagi keluarga itu tergolong keluarhga berada dan bangsawan. Perayaan
meriah seperti ini menghabiskan banyak biaya dan waktu yang panjang. Tetapi
perayaan seperti ini adalah pertanda bahwa orang yang meninggal merupakan orang
yang terhormat, dan keluarga yang ditinggalkan memiliki banyak harta. Dalam
perkembangan kemudian muncullah serangkaian permasalahan di sekitar upacara
kematian dqan penguburan. Para zendeling
mememperketat pelaksanaan upacara tersebut. Yaitu para zendeling melaranguntuk
menari dan menggerak-gerakkan tangan diatas jenazah, permainan musik yang dapat
membangkitkan orang siar-siaron(histeris),
memasukkan benda-benda tertentu kedalam peti jenazah, berbicara kepada jenazah,
dan sebagainya. Selain itu juga ditetapkan kepada sia Dari penjelasan diatas
terlihat dahulunya masih terjadi dalam acara penguburan orang yang masih hidup
berbicara kepada jenazah. Penulis melihat praktak kekafiran sampai sekarang
maih berlangsung. Misalnya bentuknya dalam doa, namun isi doa cenderung memberi
penguatan kepada roh orang meninggal supaya sukses berjumpa dengan Allah di
surga. Upacara penguburan pun berlangsung dalam bentuk Kristen, tetapi masih
saja ada anggota jemaat menyelipkan sesuatu kedalam peti jenazah simati. Supaya
rohnya tidak kehilangan arah menuju tempat kediaman Allah. Dan belakangan ini
GKPS tidak mengijinkan jemaatnya memasukkan benda-benda tertentu kedalam peti
jenazah untuk menghindarkan pemahaman yang keliru tentang arti kematian dan penguburan
3.6 Sejarah Berkembangnya Pendirian
Tugu di Simalungun
3.6.1 Sekilas Pendirian Tugu di Batak Toba
Pada
awalnya budaya Batak Toba belum mengenal istilah tugu, tetapi dahulu yang ada
hanyalah “tambak” yaitu Makam (kuburan) yang ditingggikan dengan menyusun
bungki (Lempengan Tanah) dimakan orang
tua yang sudah mempunyai banyak keturunan. Baik tingkatan tambak, maupun
lapisan lempengan tanah adalah harus bilangan ganjil misalnya 3,5,7 tingkat.
Sesuai dengan perkembangan zaman dan dengan mulai maraknya pendirian
monument-monumen perjuangan maupun sejarah maka pembuatan tambak itu
ditingkatkan menjadi batu na pir (batu yang kuat) yakni makam yang sudah
terbuat dari beton, batu na pir ini suda dapat memuat beberepa tulang belulang.
Jadi dapat dikatakan bahwa berdirinya tugu ditanah batak adalah pengaruh
modernisasi. Pada waktu perang dunia ke II masyarakat batak belum mengenal
istilah tugu. Yang ada hanyalah kuburan-kuburan yang ditnggikan dengan bentuk
semen dalam berbagai bentuk. Adakalanya semen dan beton ini berbentuk
manusia atau berbentuk lain yang
dibangun diatas kuburan yang sudah ditinggikan. Sesudah kemerdekaan Negara
kita, tugu-tugu kemerdekaan dan kepahlawanan dibangun dimana seperti tugu raja
Sisingamangaraja di Sopo Surung, Balige. Jadi pembangunan tugu menjadi
inspirasi kepada orang Batak dalam usaha membangun tugu sebagai lambang
penghormatan kepada orang tua. Adapun arti dan makna pendirian tugu bagi
masyarakat Batak Toba adalah
A.
Fungsi Fisikologis
Melalaui
acara khusus untuk tondy dan penggalian tulang belulang orang batak
mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Mereka ingin menhindari bencana,
penyakit dan bahaya, dan juga ingin mendapatkan kekayaan, tanaman yang
subur,banyak anak dan damai sejahtera dalam kehidupan sehari-hari. Para keturunan diyakinkan dengan acara seperti ini mereka
akan memperoleh bantuan dari leluhurnya, bukan hanya keselamatan, tetapi juga
untuk permintaan berkat.[41]
B
Fungsi Sakralisasi
Semua
nenek moyang dihormati oleh keturunannya, khusus pada waktu hidup, tondy mereka
sangat diperhatikan dan begitu juga setelah mati juga mash dipuja oleh
keturunannya. Orang batak sangat menghargai kehidupan manusia pada waktu hidup
dan sesudah mati. Hal ini terklihat jelas dalam ungkapan “martondi na mangolu,
marsumangot dung mate” artinya memiliki tondi pada waktu hidup dan memiliki
sumangot setela meninggal.[42] Suku batak sangat
terkenal dengan mencapai kekayaan, keberhaslan dan kemuliaan. Dan setelah
keberhasilan itu diraih dalam berbagai bidang sehingga memberikan dorongan
untuk memberikan ucapan syukurkepada para leluhurnya.dengan melakukan pemujaan
kepada roh-roh leluhurnya atas segala berkat yang diterimanya. Penghormatan
tertinggi yang diberikan kepeada leluhurnya dilakukan dengan membangun tugu.[43]
C
Fungsi Transendental
Melalui
pendirian tugu dan penggalian tulang belulang dan berbagai pemberian sesajen.
Arwah nenek moyang orang batak akan semakin tinggi kedudukannya melalaui
upacara-upacara tersebut. Jika orang batak belum melaksanakannya yaitu
penggalian tulang belulangnya, seolah-olah mereka masih mempunyai utang, tetapi
jika mereka telah melaksanakannya maka mereka akan merasa aman dan percaya akan
diberkati.
D
Fungsi Identifikasi
Fungsi
ini sangat menonjol ditanah batak dimana mereka melaksanakan kewajiban sebagai
anggota keluarga dan melalui hal tersebut mereka menunjukkan identitas keluarga
selain daripada mempersatukan kembali hubungan keluarga yang retak dan
mempererat kesatuan dalam keluarga. Dilain pihak, penggalian tulang belulang
menunjukkan bahwa mereka sudah banyak yang kaya dan mempunyai jabatan. Kita juga dapat melihat sisi positif dari
pembangunan tugu ini yaitu untuk membangun suatu sarana untuk meneguhkan
kembali ikatan rohani, ikatan solidaritas yang kuat dan bias mengenal asamuasal
leluhurnya. Tetapi sisi yang menyalahi yang diyakini mereka bisa membangun
persekutuan antara seluruyh keturunan dengan roh-roh leluhurnya, yaitu
persekutuan dengan roh yang mati yang kemudian diteguhkan kembali dalam diri
generasi yang hidup jauh dimasa belakang. [44]
E Pameran Gengsi Sosial
Seperti
yang sudah kita ketahuibbahwa ada tiga “H” dalam masyarakat batak Toba yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon merupakan
idaman seluruh batak toba oleh sebab itu salah satu hamoraon, hagabeon, hasangapon suku batak terletak pada megahnya
tugu para leluhurnya, bahkan dari pemantaun penulis bahwasanya tugu ini
dijadikan ajang perlombaan terkhusus bagi marga-marga, dimana kemewahan dan
kemegahan tugu leluhurnya merupakan kebanggan besar bagi mereaka. Dan jika kita
melewati kampung Simanindo disana terlihat tugu-tugu mewah yang walaupun
perumahan wartga tidak begitu mewah,
Salah
satu budaya tertua manusia yang ternyata dilakukan oleh manusia modern sekarang
ini adalah penghormatan kepada leluhur yang suda meninggal tahun 2000-1500 SM
penghormatan itu dilakukan terhadap leluhur
yang pada masa kehidupannya dianggap berjasa, pemimpin atau pahlawan
dalam peperangan. Bentuk penghormatan itu dilakukan dengan membuat sarkopagus megalitis.[45] Dimana
tempat belulang tersebut dipahami sebagai tempat keramat sehingga menjadi
tempat dan media komunikasi anatara manusia yang hidup dengan leluhurnya yang
sudah meninggal dunia.[46]
Sama halnya dengan kalangan batak yaitu untuk mendirikan tambak atau batu
na pir. Leluhur yang sudah meninggal pada tahun yang lalu digali kembali
dan tulang belulangnya ditempatkan kedalam Tambak.[47]
Orang batak membuka kuburan-kuburan tanah yang sementara, sesudah lewat waktu
pembusukan yang dianggap perlu, lalu mengangkat tulang-tulang dari
dalamnya yang menempatkannya dalam suatu
kuburan semen dengan mengadakan upacara tertentu.[48]
3.6.2
Sejarah Pendirian tugu di simalungun
Dalam
sejarah berkembangnya pendirian tugu di simalungun secara benar, sulit untuk
menuliskannya secara pasti. Tapi ada beberapa faktor yang ingin penulis
sebutkan bahwasanya kebudayaan itu tidaklah bersifat statis tetapi kebudayaan
itu bersifat dinamis. Ada
beberapa faktor berkembangnya pendirian Tugu di simalungun, yakni:
A.
Pendirian tugu dahulunya adalah budaya Batak Toba,
tetapi pada akhir-akhir ini pendirian tugu sudah mulai berkembang di
Simalungun. Hal ini berkembang karena memang orang Simalungun bukan berdasarkan
atas marga. Tetapi orang Simalungun itu disebut jika seseorang itu Mar-ahap Simalungun. Sehingga memang
pendirian tugu tersebut sering dilakukan di Simalungun.
B.
Hal lain juga, Ada
anggapan penulis bahwasanya pendirian tugu ini lanjutan daripada acara mangongkal holi-holi/ saring-saring ni
namatoras (memindahkan tulang belulang orang tua) namun konsepnya telah
dipengaruhi oleh Batak Toba. Walaupun sebenarnya pendirian tugu itu berbeda
dengan upacara mangongkal holi. Namun dari kedua hal ini ada kemiripan yaitu
pemindahan tulang belulang. Sehingga masyarakat Simalungun dapat menerima
pendirian tugu tersebut.
C.
Salah satu yang harus diakui oleh masyarakat Simalungun
adalah jumlah penduduk Batak Toba lebih dominan di tanah Simalungun daripada
masyarakat Simalungun sendiri. Secara tidak langsung pengaruh dari budaya Batak
Toba tersebut mewarnai budaya Simalungun. Meskipun kabupaten Simalungun adalah
tanah leluhur orang Simalungun, namun belakangan ini secara statistik orang
Simalungun hanyalah peringkat mayoritas ke-tiga, setelah orang jawa dan orang
yang berasal dari Toba. Kecilnya jumlah populasi orang Simalungun di tanah
leluhurnya membawa masalah tersendiri dan membuat semakin terdesaknya
eksistensi budaya orang Simalungun.[49]
Salah satu contoh yang dapat penulis perlihatkan adalah ketika kita memberikan
makanan dalam acara adat tidak lagi memakai
Dayok Nabinatur, Hambing siopat
nahei atur menggoluh ibagas talam melainkan
orang telah memberikan babi dalam
acara adat.
D.
Ditambah lagi dengan kepribadian orang Simalungun memiliki kepribadian jenis Phlegmatis. Yakni lebih banyak
mengevaluasi dan berfokus pada diri sendiri daripada mengomentari orang lain
sehingga budaya yang lain mudah untuk menerobos budaya Simalungun itu sendiri.
Sehingga pada akhiranya pendirian tugu itu berkembang di Simalungun.. Masyarakat Simalungun juga telah banyak
menikah dengan orang batak Toba. Sehingga terjadi percampuran budaya Simalungun
dengan budaya Batak toba.
E.
Masyarakat Simalungun melihat dampak positif dari
pendirian tugu tersebut yaitu untuk mempererat hubungan diantara beberapa
generasi ke generasi. Sehingga hal ini merupakan Sesuatu hal yang dapat
dilakukan untuk mengenal diantara beberapa keturunan.
F.
Masih kuatnya keyakinan terhadap kepercayaan kepada
Nenek moyang. Di mana masih adanya hubungan antara orang yang hidup dengan
orang yang sudah meninggal.. sehingga perlu rasanya adanya penghormatan dan
komunikasi dengan orang yang sudah meninggal. Yang dipandang juga bisa
mendatangkan berkat bagi orang yang menghormati leluhurnya.
G.
Pendirian tugu ini juga berkembang diakibatkan
perekonomian suatu keluarga itu sudah dikatakan mapan ditambah lagi
keberhasilan dari suatu keluarga. Sehingga sering ditemukan upacara pendirian
tugu dengan biaya yang cukup mahal. Sehingga menjadi kebanggaan tersendiri bagi
orang yang melakuaknnya. Semakin banyak biaya yang dikeluarkan dalam acara tersebut
menunjukkan betapa besarnya mereka menghormati para leluhurnya.
H.
Pendirian tugu ini dilakukan untuk mengenal diantara
beberapa keturunan, atau mengenal identias suatu keluarga tersebut.
3.7. Pengertian Tugu Menurut Orang
Simalungun
- Djomen Purba
Beliau merupakan ketua Yayasan
Museum simalungun yang
berada di pematang siantar. Dan juga Ketua Forkala kabupaten Simalungun. Beliau
berpendapat bahwasanya pedirian tugu itu merupakan suatu tanda pengormatan
kepada leluhur yang dibangun guna
memperingati jasa-jasa dan sebagai penghormatan kita kepada leluhur. Penghormatan
kepada leluhur tersebut sesuai dengan falsafah Simalungun yaitu Habonaron do Bona. Menurut beliau namanggoluh atap matei pe dosdo bani Tuhan yang
artinya yang hidaup dan mati samanya
bagi Tuhan. Itu sebabnya menurut beliau penghormatan kepada leluhur
dengan cara mendirikan tugu merupakan seseorang itu menjalankan Hukum Taurat
yang Ke-5. adapun hal lain pendirian
tugu ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kita kepada para pejuang. Dengan
tujuan agara generasi berikutnya mengenal dan mengharagai para pejuang
terdahulu sehingga itu menjadi suatu cerminan bagi dia dalam berbangasa dan
bertanah air.[50]
- Rikanson J.Purba
Beliau merupakan salah satu Presidium Partuah Maujana Simalungun serta
anggota Departemen Politik dan Otonomi Daerah. Dalam hal pendirian tugu
disimalalungun beliau berbeda pendapat dengan Drs Jomen Purba. Menurutnya
pendirian tugu tersebut bukan merupakan salah satu budaya simalungun. Tetapi
Masyarakat Simalungun mengadopsi Hal tersebut dari budaya Batak Toba. Hal ini
didasari oleh percampuran budaya dan juga masyarakat Simalungun telah banyak
menikah dengan orang Batak Toba. Sehingga budaya itu bercampur baur. Hal lain
juga yang menyebabkan pendirian tugu di Simalungun adalah untuk mempersatuakn
kembali keturanan atau marga yang sudah tida saling kenal lagi disebabkan oleh
perbedaan tempat. Misalnya Tugu Purba Pakpak yang berada di huta raja.
Pendirian tugu ini dilakukan untuk membangun suatu system kekerabatan diantara
generasi ke genarasi sehingga mereka tidak kehilangan identitas. Tetapi menurut
beliau juga masih ada beberapa masyarakat Simalungun membangun tugu masih
diwarnai dengan kepercayaan kepada para nenek moyang yang dapat mendatangkan
berkat bagi yang mendirikannya. Tetapi hal ini seharusnya harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan Iman Kristen. [51]
- Sortaman Saragih
Kata tugu bagi orang Simlaungun sudah ada mulai dari dulu. Bagi orang
Simlaungun pengertian tugu adalah hanya sebagai tanda peringatan. Justru
Pendirian tugu itu dilakukan jika tulang belulangnya tidak dapat ditemukan
lagi. Oleh sebab itu sebagai penggantinya dimasukkan sedikit tanah kedalam tugu
tersebut. Dahulu jika ada seseorang yang hilang atau tidak diketahui
keberadaannya dan sudah diperkirakan meninggal majka didirikanlah tugu sebagai
tanda peringatan baginya. Sebab memang pendirian tugu bagi Simalungun berbeda
dengan pendirian tugu bagi Batak Toba. Bagi orang Toba pendirian tugu itu
dilakukan sebagai tanda keberhasilan satu keluarga. Sehingga dibangunlah
tugunya dengan megah dan pesta yang meriah.i. tetapi bagi orang Simlaungun tugu
itu hanya sebatas tanda peringatan.[52]
- Syahmawim Purba
Beliau merupakan sorang pengamat budaya Simalungun. Adapun pendapatnya
tentang pengertian tugu adalah suatu bangunan yang didirikan guna memperingati
suatu pejuang. Namun menurut beliau tugu itu nyaris tanpa makna bagi orang
Simalungun, sebab memang tugu itu bukan merupakan budaya Simaungun. Menurutnya,
jika memang tugu itu penting bagi masyarakat Simalungun sudah pasti tugu para
pejuang Simalungun itu dilestarikan.[53]
Beliau memperjelas lagi bahwasanya tugu itu seperti tugu Monas yang ada
dijakarta.
E. Rabana Saragih Garinging
Tugu yang dipahami oleh masyarakat simalungun sendiri adalah hanya sebuah
tanda pringatan. Beliau menjelaskan Dahulunya
masyarakat simalungun menggunakan kata Ballei, yaitu tempat penyimpanan
barang-barang peninggalan para kerajaan. Dan sama sekali tidak mengenal Tugu.
Mengenai pendirian Tugu di Simalungun beliau berpendapat kita hanya mengikuti
apa yang dlakukan oleh Batak Toba. Tugu yang dibangun disimalungun hanyalah
sebuah pengenangan ataupun tanda. Misalnya tugu Monumen yang di Rawang dekat
Panei Tongah Tugu ini dibangun disebabkan jatuhnya pesawat dan beberapa
diantaraya meninggal, maka untuk itu dibangunlah Tugu sebagai tanda bahwasanya
ditempat itu pernah pesawat terjatuh. Jadi Tugu yang dibangun di Simalungun
berbeda dengan tugu yang ada didaerah Batak Toba.[54]
- Jamansen Purba Tambak
Beliau merupakan salah satu yang
mendirikan tugu di Simalungun yang bertempat di Marube yaitu Tugu Purba Tambak. Tugu tersebut
didirikan pada tahun 1962 dan pada tahun terakhir ini tugu tersebut direnovasi
kembali. Beliau berpendapat bahwa tugu itu adalah suatu tanda penghormatan
kepada nenek moyang yang telah meninggal. Beliau menjelaskan bahwasanya arti
dan makna tugu tersebut hanya sebatas penghormatan kita kepada leluhur. Dan
juga sebagai pemersatu di antara keturunan. Namun tidak dapat dipungkiri masih
ada juga orang Simalungun yang memberikan sesuatu kepada orang yang sudah
meninggal. Misalnya memberikan makanan, rokok, sirih sekalian mengucapkan yang
ada dalam hatinya. Artinya adanya komunikasi dengan orang yang sudah meninggal.
Hal ini terjadi ketika seseorang itu berjiarah
kemakam maupun ke tugu leluhurnya. Dan salah satu penghormatan kita
kepada leluhur yang dilakukan adalah mendirikan “rumahnya” (tugu). Tetapi
beliau mempertegas bahwa sebenarnya berbicara kepada leluhur, meminta berkat
kepada leluhur sudah bertolak belakang dengan Iman Kristen. Beliau melihat
bahwasanya pendirian tugu itu dengan sewajarnya tidak menyalahi namun yang
menyalahi adalah motif pendirian tugu tersebut. [55]
[1] . Kenan Purba dan J.D. Poerba, Op.Cit., 1-6
[2] Ibi., 2
[3]
Jahutar Damanik, Jalannya Hukum
Adat Simalungun, Simalungun: TP, 1987, 27-28
[4] K. Sipayung, ”Simalungun”, Jubileum 75 tahun 2 September 1903-1978, P.
Siantar: Pimpinan Pusat GKPS, 14
[5] Sortaman Saragih, Orang Simalungun, Jakarta: Citama Vigora, 2008, 20-21
[6] Jan Jahaman, Salib dan Sirih, Disertasi, STT Jakarta,
2009, 17
[7] Jahutar Damanik, “Evaluasi
Kebudayaan Simalungun”, dalam, Harunggunon Bolon Partuah Maujana Simalungun
ke-3, Pematang Siantar, 28-29 agustus 1987 (Pematang Siantar: Partuah
Maujana Smalungun,1987,16 )
[8] Jan Jahaman, Op.Cit, 18
[9] Jahutar Damanik, Op.Cit., 22
[10] Presidium Partuah Maujana Simalungun “Falsafah Budaya
Simalungun”, Salmon Sinaga (ed), dalam Adat
Ni SImalungun, Pematang Siantar: TP, 2002, 1 Presidium Partuah Maujana Simalungun, Adat ni Simalungun, Salmon Sinaga (ed),
Pematang Siantar: TP, 2002, 1
[11]
Tondong dalam makna simbolis falsafah adat Simalungun, dianggap sebagai naibata na tarida (Allah yang terlihat)
dan dalam hukum adat Simalungun Raja dianggap tuhan yang nampak. Artinya kalau
dianggap ada tuhan Allah yang nampak, tentu sebaliknya ada Tuhan yang tidak
nampak. Raja dan tondong disebut tuhan karena dianggap mempunyai kekuasaan,
tondong bgersedia menyerahkan anak perempuan darah dagingnya, untuk
perkembangbiakan orang lain, berarti ini merupakan suatu pengorbanan.
[12] Presidium Partuah Maujana Simalungun, Op.Cit., 1
[13] Filosofi habonaron do bona tercatat pertama sekali kurang lebih abad ke-XV,
dalam pustaka kuno Simalungun “pustaka
parmungmung Bandar syah kuda”. Dalam pustaka ini dijelaskan asal usul seloka “habonaron do bona” dikisahkan bahwa pada suatu waktu kerajan Nagur
mendapat serangan dari Kerajaan Samidora. Terjadi pertartungan sengit antara
Sang Ma Jadi sebagai putra mahkota Kerjaan Nagur, dengan putra mahkota Kerajaan
Samidora yang hendak menguasai kerajaan Nagur. Karena Sang Ma Jadi adalah pihak
yang benar dalam peperangan ini maka mereka mendapat pertolongan dari Naibata,
yakni dari langit turun seekor burung Naggordaha (burung Garuda) melerai
pertarungan tersebut. Saat pertikaian terdengar suara serua sebanyak tiga kali
yang mengucapkan “habonaron do bona,
habonaron do bona, habonaron do bona ”. namun hasrat putra mahkota Samidora
tidak terbendung lagi ingin menguasai kerajaan Nagur sehingga tidak perduli
dengan seruan tersebut. Dia berusaha dengan sekuat tenaga menakhlukan putra
mahkota kerajaan Nagur. Akhirnya burung Nanggordaha marah, dan membunuh putra
mahkota kerajaan Samidora. Sejak saat itulah habonaron do bona menjadi filosofi
bagi masyarakat Simalungun.( Sortaman saragih, Orang Simalungun, Depok: CV Citama Vigora, 2008, 145)
[14] Sortaman saragih, Orang Simalungun, Depok: CV Citama
Vigora, 2008, 144
[15] Ibid., 149
[16] Yustinus Selamat Antono, Op. Cit., 31-32
[17] Rudolf pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, Medan : Penerbit Pieter,
1998, 35
[18] Ibid., 60
[19] Henry Guntur Tarigan, Struktur Sosial dan Organisasi Masjarakat Simalungun , Bandung :Tanpa Penerbit,
1971, 53
[20] Yustinus Selamat Hantono, Op. Cit., hlm. 124
[21] Jan. J Damanik, Op.Cit., 61
[22] Bnd Martin L. Sianaga, Identitas Poskolonial , hlm 45, bnd Juga
Simon Rae, Breath Becomes the Wind Old
and New in Karo Religion, Dunedin New Zealand: University of Chichago,
1994, hlm. 18-19
[23] Jahutar Damanik, Hukum Adat Simalungun, 1974, hlm.
183
[24] Ibadat Baal yang dimaksud adalah
ajaran yang menganggap tiap benda mempunyai roh, maksudnya manusia-manusia
penganutnya disebut penyembah berhala. Ibadat baal telah menghayati kepercayaan
manusia ditengah-tengah masyarakat dalam kerajaan babylonia Raja Hamurambi di asia kecil pada zaman perunggu
[24]
Natalias, Ismulyadi (ed) Millenium the Story Of Chritianity,
Menelusuri Jejak Kristianitas, Yogyakarta:
Kanisius, 2006, 17
[25] Jahutar Damanik, Op. Cit., 168
[26] T. B. A. Purba Tambak, Sejarah Simalungun, Pematang Siantar:
TP, 1982, 134-135
[27] D. Kenan Purba, Adat Istiadat Simalungun, Pematang
Siantar: Bina Budaya Simalungun, 1997, 130
[28] Japiten Sumbayak, Op.Cit., 78
[30] … “Falsafah Budaya Simalungun”,
Salmon Sinaga (ed), dalam Mangongkal
holi, 155
[31] D. Kenan, Op.Cit., 134
[32] Jan J. Damanik, Op.Cit., 63-64
[33] K. Sipayung, “Simalungun ”,
dalam Jubileum 75 Tahun, 2 September
1903-1978 GKPS, Pematang Siantar: Kolportase GKPS, 1978, 7
[34] K. Sipayung, “Simalungun ”, Ibid.,
7
[35] K. Sipayung, “Simalungun ”, Ibid.,
7
[36] Bnd. J. Wismar Saragih, “Seng
idjon Ia, Domma puho Ia”, dalam, Tadah ni Tonduyta, Renungan 20 April
1964
[37] Wawancara dengan St.Janeka
Saragih di Sigodang pada tanggal 6 juni 2011
[38] Lih, Peraturan Penguburan I GKPS, 1975. Bab I psl 2
[39]
Peraturan Penguburan I GKPS, 1975. Bab IV, psl 15 ay.1 dan 2
[40] Jan Jahaman, Salib dan sirih,hlm.362
[41] O. Siahaan, “Mengasihi
Masyarakat Menggarami Kebudayaan Batak dengan Firman”, dalam A.A Sitompul, Injl dan Tata Hidup, Jakarta:
BPK-GM, 2002, hlm. 123
[42] R.P Tampubolon, Pustaka
Tumbaga Holig, Jakarta:
Dian Utama, 2002, hlm.149
[43] Henri James Silalahi, Upacara
Adat Batak, Medan:
KKM, 2000, hlm. 275
[44] Ibid hlm.79
[45] Sakrofagus megalitis adalah
tempat belulang leluhur bagi suku bangsa purba
yang biasanya dilakukan melalui suatu acara ritual yang kemudian menjadi
suatu pesta kegembiraan bagi keturunan leluhur tersebut.
[46] Darwin Lumban Tobing, Teologi
Pasar Bebas, Pematang Siantar: L-SAPA, 2008, hlm.350-351
[47] Ibid., 349
[48] Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, suatu
studi perbandingan anthoropologis-misiologis tentang penyembahan Nenek Moyang
di Indonesia (Minahasa, Sumba, Batak dan Korea), Yogyakarta,Media Presindo,
2001, 137
[49] Sortaman Saragih, Op Cit, 22
[50] Jomen Purba, Wawancara, Pematang Siantar, 16 Mei 2011
[51] Rikanson P. Purba, wawancara melalui telepon seluler,
Pematang siantar, 4 juli 2011
[52] Sortaman Saragih, Wawancara Via Telepon, Medan, 16 Mei 2011
[53] Syahmawim Purba , wawancara melaluiVia telepon seluler, Medan, 4 juli 2011
[54] Rabana saragih Garingging (Cucu
dari pada Tuan Rondahaim), wawancara. Aman Raya, 21 Mei 2011
[55] Jamansen Purba Tambak, Wawancara Via Telepon, Medan,
29 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar