Senin, 25 Maret 2013

SIMALUNGUN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN TUGU DI SIMALUNGUN



SIMALUNGUN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN TUGU DI SIMALUNGUN

3.1 Simalungun dan Gambaran Umum Wilayah Simalungun
            3.1.1 Arti dan Makna Kata Simalungun
Arti kata Simalungun masih sering menjadi bahan perbincangan yang hangat. D.Kenan Purba dan J.D. Poerba dalam bukunya yang berjudul Sejarah Simalungun yang  mencantumkan beberapa pendapat  berkaitan dengan nama Simalungun. Pendapat Drs. Urich H. Damanik: Simalungun berasal dari kata si-malungun. Secara etimologis ia menerangkan bahwa Si sebagai kata penunjuk, Ma adalah awalan dan Lungun yang artinya sunyi atau rindu. Malungun  berarti yang sunyi atau yang dirindui.[1] T.Ms. Purbaraya menjelaskan bahwa Simalungun berasal dari kata silou-ma-lungun. Ia menghubungkan nama Simalungun dengan sejarah runtuhnya kerajaan Silou Tua sebagai lanjutan dari Kerajan Nagur. T.B.A Purba Tambak menjelaskan bahwa Simalungun berasal dari kata Simou dan lungun berarti sunyi atau lengang. Kesunyian atau kelengangan itu disebabkan oleh keadaan wilayah yang dulunya terdiri dari hutan belantara dan penduduknya hampir tidak kelihatan. D. Kenan Purba SH berpendapat bahwa kata Simalungu berasal dari kata sim-lungun. Sima berarti sisa dan lungun berarti kesedihan, maka Simalungun  artinya sisa dari kesedihan.[2]
Asal kata Simalungun berasal dari bahasa Simalungun. Pokok kata Simalungun ialah  lungun artinya sunyi atau sepi. Kata-kata ini dipergunakan pada umumnya diwaktu mengalami sendiri suasana yang sepi. Bila pengalaman itu diceritakan ditempat lain pada orang lain, menurut tata bahasa Simalungun ditambah dengang kata “ma” lengkapnya disebut “Malungun”. Kata tunjuk lungun ialah “ma” berarti kata penunjuk bagi suatu yang keadaanya sunyi atau sepi. Maksudnya semula untuk menerangkan situasi daerah yang sunyi sepi tersebut.dalam perkembangan tata bahasa Simalungun, bila kata sebutan tentang sesuatu benda atau wilayah menjadi nama, biasanya ditambah dengan “si”. Umpamanya si Anu, si bergabung menjadi suku kata, seperti Si Marjarunjung (Simarjarunjung). Dalam hal ini sebutan malungun disebut Simalungun waktu bercerita terhadap orang lain. Malungun memberi dua pengertian yaitu:
1.      Suatu perasaan terhadap seseorang
2.      Memberikan pengertian atas suatu keadaan suatu tempat atau daerah.[3]
Sampai sekarang telah muncul beberapa pendapat tentang asal-usul istilah Simalungun  terutama dari putra daerah Simalungun sendiri. Namun demikian, belum ada keseragaman pendapat mengenai hal tersebut. Yang jelas, istilah “Simalungun” dipergunakan untuk menunjukkan salah satu puak dari Suku-bangsa Batak yang berdiam di sekitar sebelah Timur Danau Toba; yang mempunyai bahasa daerah sendiri, kebudayaan daerah sendiri, aksara sendiri dan kekhususan-kekhususan lainnya. Karena kediamannya sebelah Timur Danau Toba maka orang Barat sering menyebutnya Simalungun sebagai Batak Timur. Selain itu ia disebut juga Simalungun, Simelungun, Sebelungun. Namun orang Simalungun sendiri menyebut dirinya Simalungun. Keragaman penyebutan yang demikian ini menyebabkan Pemerintah Daerah Simalungun melalui lembaga DPRD telah memutuskan bahwa Kabupaten yang ibukotanya Pematang Siantar tersebut adalah bernama KABUPATEN SIMALUNGUN. [4]
Sebelumnya peggunaan kata Simalugun memiliki beberapa pendapat. Namun pada akhirnya Pemerintah Daerah Simalungun melalui lembaga DPRD menetapkan ibukota Pematang Siantar adalah Kabupaten Simalungun. Akar Kata Simalungun adalah lungun artinya sunyi atau sepi. Kata-kata ini dipergunakan pada umumnya di aktu mengalami suasana yang sepi dan juga sebagai pengertian atas suatu keadaan tempat atau daerah. Sebab wilayah itu dulunya terdiri dari hutan belantara dan penduduknya hampir tidak kelihatan

3.1.2 Gambaran Wilayah Geografis Simalungun
            Kabupaten Simalungun terletak anatara 02036’-0301’ Lintang utara, dan berbatasan dengan lima kabupaten tetangga yaitu; Kabupaten Serdang Bedagei, Kabupaten Karo, Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir dan Kabupaten Asahan. Wilayah Simalungun mempunyai luas 4.386.6 km2 atau 6,12% dari luas wilayah provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduknya sampai pada tahun 2008 adalah sebanyak 841.189 jiwa, yang terdiri dari 31 Kecamatan dan 202 desa.[5]
Simalungun membentuk mulai titik batas di puncak bukit hingga berangsur-angsur menurun dan menyentuh pantai timur Danau Toba. Beberapa gunung seperti dolok Mardinding, Marpalatuk, Sisae-sae, Batu loting dan Simanuk-manuk merupakan gunung-gunung yang memisah Simalungun dari wilayah Tapanuli dan Asahan. Sementara di Gunung Sipiso-piso, Singgalang dan Gunung Simbolon menjadi tapal batas antara wilayah Simalungun dan Karo.[6] Beberapa di antaranya adalah gunung Singgalang dan gunung Simbolon yang dianggap suci oleh masyarakat hingga kini.[7] Dengan demikian batas-batas Geografis wilayah Simalungun adalah sebelah Utara dengan Deli Serdang, sebelah Timur dengan Asahan, sebelah Barat dengan tanah Karo dan sebelah Selatan dengan Tapanuli Utara.[8] Letak gunung pada umumnya di atas pegunungan Simanuk-manuk yaitu gunung Sijambak Bahir (2245 m), Gunung Simarjarunjung (2100 m), dan Gunung Singgalang Seribudolok, Gunung Sipiso-piso di perbatasan Simalungun- Karo dan Gunung Simbolon (2125 m) sekitar Raya. Sungai yang terbesar adalah Bah Bolon mengalir dari pegunungan Simanuk-manuk melalui wilayah Sidamanik lintas di tengah-tengah kota Pematang Siantar terus ke Perdagangan bertemu dengan Bah Tongguran, bermuara di laut Selat Malaka (Kuala Tanjung).[9]

3.1.3 Filosifi Hidup Orang Simalungun
Budaya terdiri dari adat istiadat. Berdasarkan hasil seminar budaya yang diadakan, maka ditetapkan dasar budaya Simalungun adalah habonaron do bona yang artinya kebenaran adalah pangkal. Dan filosofi ini telah dijadikan sebagai motto lambang kabupaten Simalungun. Begitu juga dengan “Sapangambei manoktok hitei” yang artinya adalah bersama-sama membangun jembatan atau gotong royong/bahu-membahu untuk membangun.[10] Falsafah budaya Simalungun tercermin pada “tolu sahundulan lima saodoran”. Tolu sahundulan artinya tiga pada satu tempat yaitu, sanina, tondong[11], boru. Semboyan tolusahundulan sama artinya dengan sanina pangalopan riah, tondong pangalopan podah, boru pangalopan gogoh. Marsanina ningon pakkei, manat. Martondong ningon hormat, sombah dan marboru ningon elek, pandei.[12] (pihak yang semarga sebagai tempat bermusyarah, pihak marga pemberi istri sebagai pemberi Nasehat, kepada teman semarga harus sopan, berhati-hati. Kepada pihak marga pemberi istri harus tetap hormat dan kepada pihak kelompok marga lelaki yang mengawini putri marga pemberi istri harus berpengertian)
Ada suatu pemahaman yang sangat kental pada keyakinan leluhur orang Simalungun, bahwa Naibata Maha Kuasa, Maha adil dan Maha benar. Manusia juga dituntut untuk besikap benar dan segala sesuatu harus didasarkan kepada hal yang benar. Itulah prinsip dasar dari filosfi habonaron do bona. [13] Arti harafiah habonaron do bona adalah kebenaran adalah dasar dari segla sesuatu yaitu mereka menganut aliran pemikiran dan kepercayaan bahwa segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran, sehingga baik bagi semua pihak, di mana mereka dituntut senantiasa harus menjaga kejujurannya di hadapan semua manusia. Secara umum prinsip habonaron do bona menanamkan kehati-hatian, hidup bijaksana, matang dalam berencana sehingga tidak terjadi penyesalan dikemudian hari.[14]
Menurut MD Purba sebagai penjabaran habonaron do bona dapat disebutkan dalam 8 nilai kebenaran yang dianut pada saat itu yakni:
1. Berpandangan yang benar
2. Berencana (berniat) yang benar
3. Berbicara yang benar
4. Bekerja yang benar
5. Berpenghidupan (berprinsip) yang benar
6. Berusaha (berkarya) yang benar
            7. Berperhatian (berkonsentrasi) yang benar
            8. Berpikiran yang benar.[15]
Habonaron do bona merupakan salah satu dasar dari budaya Simalungun. Ungkapan tersebut telah dijadikan sebagai motto lambang Kabupaten Simalungun. Arti hanonaron do bona adalah pangkal. Atau dapat disebut Kebenaran adalah dasar dari manusia untuk bertindak. Manusia dituntut untuk selalu bersikap berhati-hati dalam ucapan dan perbuatan, bersiakap bijaksana dan selalu mengutamakan kebenaran dalam setiap hal. Dan habonaron do bona ini tercermin dalam tolu sahundulan lima saodoran.

3.1.4 Sistem Kekerabatan Orang Simalungun
            Orang Simalungun membubuhkan nama marga Bapaknya dibelakang nama kecilnya. Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek bersama, atau orang yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilenial. Anggota dari satu marga dilarang kawin. Semua orang yang semarga adalah orang yang berkerabat dan dengan orang yang berlainan marga juga bisa dicari kaitan kekerabatan, karena mungkin saja dia mempunyai hubungan kekerabatan dengan bibi, paman, saudara lain melalui hubungan perkawinan.
            Hubungan kekerabatan menyangkut jauh dekatnya relasi seseorang (individu) dengan orang lain. Untuk menentukan jauh dekatnya seseorang dalam kekerabatan menurut adat-istiadat Simalungun kriteria yang digunakan adalah garis keturuna pihak laki-laki (ayah) dan pertalian “darah” akibat perkawinan (dari pihak perempuan). Di samping itu masih ada hubungan kekerabatan yang diperhitungkan melalui “keibuan” (bilineal discent) karena kelompok keluarga ibu menduduki posisi sangat penting sebagai tempat meminta berkat. Oleh karena itu terdapat hubungan erat antara kelompok ayah dengan kelompok keluarga ibu. Dengan system kekerabatan seperti itu maka kelompok kekerabatan orang Simalungun dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: kelompok keluarga inti (Suami, istri dan anak-anak yang belum kawin), kelompok di luar keluarga inti (kerabat ayah atau kerabat ibu), dan kelompok keluarga luas (hubunguan kekerabatan akibat adanya perkawinan antara suami dan istri yang menjadi kelompok keluarga yang lebih besar merupakan gabungan kerabat suami dan istri).
            Masyarakat Simalungun memiliki susunan lembaga adat yang terkenal dalam nama tolu shundulan dan lima saodoran, kelompok yang tergolong dalam tolu sahundulan adalah tondong (kelompok kerabat istri), sanina (sanak saudara satu keturunan/marga), dan anak boru (pihak ipar). Kelompok yang tergolong dalam lima saodoran adalah tondong, sanina, anak boru, tondong ni tondong, (kelompok pemberi istri kepada tondong) anak boru mintori (kelompok boru dari pihak ipar). Dalam upacara adat, orang Simalungun dengan sendirinya akan mengerti di mana seseorang mesti duduk atau menempatkan diri. Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari orang Simalungun yang sudah dewasa akan mengerti kewajiban atau sikap seperti apa yang harus dibuat pada kerabat sesuai dengan posisi masing-masing.[16]

3.2 Kepercayaan Asli Orang Simalungun
Pada umumnya agama suku meyakini bahwa roh-roh itu merupakan mahkluk-mahkluk yang tidak bisa dilihat tetapi pada hal-hal tertentu kadang-kadang dapat dilihat memiliki tubuh sendiri. Orang-orang suku Timur Tengah mempercayai bahwa jin-jin adalah makluk supranatural yang dapat mengambil rupa manusia atau binatang. Umumnya dipercayai bahwa ada tiga sifat roh yang dikenal agama suku antara lain: roh yang bersifat baik roh yang bersifat jahat dan roh yang memiliki keduanya sifat yang baik dan jahat. Baik roh yang berasal dari roh-roh orang yang baik ketika masa hidupnya.[17] Suku Batak juga menghormati roh-roh mati bukan saja melalui pemberian makanan yang enak buat roh-roh itu, tetapi juga dengan membangun buat mereka monumen, kuburan yang sangat mahal sekali, yang disebut dengan tugu. Jadi hidup ketergantungan antara orang yang mati dan yang hidup sangat penting sekali bagi masyarakat suku dan itu sebabnya orang yang tidak memiliki keturunan sangat takut sekali kepada kematian . karena nantinya rohnya tidak akan dihormati oleh orang –orang yang hidup, khususnya karena ketiadaan keturunan.[18]
Menurut Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa penduduk daerah Simalungun, sebagian besar belum beragama. Yang dimaksud dengan agama di sini ialah kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Esa atau Monotheisme, seperti agama Islam dan Kristen. menurut dugaan sampai saat ini, dapatlah dikatakan bahwa penduduk yang telah beragama ada kira-kira setengah dari jumlah penduduk, yaitu sebagian memeluk agama Kristen dan sebagian lagi memeluk agama Islam.Demikianlah kebanyakan dari penduduk masih Percaya akan roh nenek moyang, pohon-pohon keramat, tempat-tempat keramat dan Parsinumbahan menurut istilah di tempat itu. Dengan perkataan lain sebagian besar dari penduduk masih  Parbegu. Setelah kita merdeka, maka rakyat kian hari kian terbuka kearah kemajuan disegala lapangan inklusif agama. Sebagai akibatnya dari hari ke hari penduduk yang tadinya parbegu berangsur –angsur memeluk agama yang ber-Tuhan satu, yaitu Kristen dan Islam.[19]
Jahutar Damanik menjelaskan bahwa di wilayah Simalugun masih terlihat sisa ajaran ibadat Baal, terutama bagi datu-datu dalam upacara, hal ini misalnya tampak dalam membuat suatu parsilih dari bahan batang pisang yang dibentuk sedemikian rupa, mirip bentuk manusia. Parsilih dianggap mempunyai tengag gaib (roh) atas panggilan mantera datu. Ada sebuah keyakinan bahwa tenaga gaib berkuasa mengelakkan kesukaran, menyembuhkan penyakit dan mendatangkan rejeki bagi keluarga.. Dahulu juga dikenal dengan mendirikan bangunan tempat korban persembahan (anjab-anjab), yaitu sebuah altar sebagai meja tempat korban persembahan, di puncak bukit yang tertinggi disekitarnya. Upacara persembahan tersebut dapat dilangsungkan perseorangan atau keluarga yang bertujuan untuk mengharapkan panen yang berlimpah, menjauhkan bala, dan mohon datang hujan. Selain upacara keagamaan tersebut masih terdapat upacara lain yang membuat makna religius dari praksis agama asli Simalungun yakni, pesta rondang bintang yang mempersembahkan korban dari binatang peliharaan terpilih disertai nitak yang sudah diolah dalam ramuannya. Lalu datu memanjatkan doa (mantra) dengan perantaraan roh nenek moyang (simangot ni ompu) terhadap Naibata I Nagori atas upacara ini dilakukan untuk mengucapkan syukur atas anugerah Tuhan yang telah mereka peroleh. Selain itu masih ada upacara lain yang memuat dimensi religio-cultural, misalnya: parsiarhon (kesurupan),dan parsinumbahan (tempat keramat) Kedua cara itu untuk memohon sesuatu yang diharapkan, melalui orang yang kesurupan atau pemantauan seorang datu maupun mengunjungi tempat tertentu yang diangap keramat. [20]
Di pihak lain untuk mengetahui agama asli orang Simalungun tidaklah begitu mudah. Namun dapat dilihat apa yang disebutkan para penerjemah Alkitab kedalam bahasa Simalungun dan juga terhadap lagu-lagu Simalungun tentang apa yang dulunya dipercayai oleh masyarakat Simalungun. Yaitu: Parbegu, Sisombah Gana-gana, sipajuh Begu-begu (Kis 13:46-48) dan dalam Buku Doding Haleluya GKPS No.54 menyebutkan puho ma perbeg-begu ase lihar nasiam…dst, dan Haleluya No.144 menyebutkan: bolak open a golap in, bai bangsa na i atas tanoh on, sibolis do na manrajai in, isombah halak begu-begu in..dst. Ada data yang menyebutkan bahwa Zendelinglah yang pertama memakai nama Parbegu untuk menyebut nama asli orang simalungun.[21] Dan kita harus akui bahwa  Simalungun percaya akan adanya kuasa tertinggi yang mencipta  langit dan bumi ini. pencipta itu mereka sebut Naibata, sedangkan masyarakat umum memuja Sumagod (Roh leluhur  satu kelompok marga ) Tonduy Jabu (roh nenek moyang satu Keluarga ) dan Sinumbah (roh sakti yang dipercaya menghuni suatu lokasi sehingga disebut sebagai tempat keramat).[22] Dan di wilayah Simalungun Khusus bagi orang-orang Simalungun dikenal dengan Istilah sipajuh begu-begu.[23]
            Dalam kepercayaan suku simalungun jug ada terihat ajaran ibadat baal[24], terutama bagi Datu-datu dalam upacara. umpanya membuat suatu parsilih dari bahan batang pisang, dibentuk sedemikian rupa mirip bentuk manusia  yang dianggap mempunyai tenaga gaib atas panggilan mantera datu. Dimana tenaga gaib tersebut dianggap berkuasa mengelakkan, menyembuhkan penyakit dan mendatangkan rejeki bagi seseorang.[25]
            Menurut T. B. A. Purba Tambak, agama asli dalam bahasa Simalungun disebut parbegu atau sering disebut animisme, yang masih berlangsung dan tetap ada hingga pertengahan abad ke-20. upacara-upacara tersebut pada umumnya dimaksudkan untuk menolak bala, menyembuhkan penyakit, menghindarkan bahaya maut bagi yang sudah lama mengidap penyakit (buang jakka), dan mengusir setan (begu-begu nasotokka).[26]
            Sehinnga dapat terlihat bagaimana dulunya kepercayaan suku Simalungun yang meyakini ada kekuatan tertinggi di luar dari dirinya sendiri. Sehingga mereka sering menyembah hal-hal yang demikian. Salah satunya adalah kepercayaan terhadap Naibata, memuja sumagod (Roh leluhur  satu kelompok marga ) Tonduy Jabu (roh nenek moyang satu Keluarga ) dan Sinumbah (roh sakti yang dipercaya menghuni suatu lokasi sehingga disebut sebagai tempat keramat. Dan juga masyarakat Simalungun dikenal dengan parbegu yang diyakini dapat melindungi setiap orang yang menyembah kepadanya. Dan ada hal lain yang sering di lakukan oleh masyarakat Simalungun yaitu pasiarhon (kesurupan), diyakini bahwa melalui orang yang kesurupan mereka mendapatkan  suatu nasehat, pesan penting yang harus dilakukan atas apa yang sudah diperintahkannya.

3.3 Adat Istiadat Simalungun
            3.3.1 Adat Memindahkan Tulang-Belulang
Sebenarnya budaya Simalungun tidak ada acara adat “mangongkal hol na dob matei” (menggali tulang belulang yang sudah meninggal) sebab yang ada hanya “paturehon panimbunon” (memperbaiki kuburan). Jadi adat menggali tulang belulang merupakan adat yang baru, sebagai pengaruh adanya percampuran budaya dengan puak lain (Toba).[27] Adapun yang menjadi penyebab pemindahan tulang belulang adalah kemungkinan pada saat orang tua meninggal terpaksa dimakamkan pada tempat terpisah dari kuburan keluarga karena situasi yang tidak mendukung, mungkin di antara keturunan ingin mempersatukan beberapa orang tua yang sudah meninggal dalam satu pemakaman dan mendirikan tugu serta alasan masyarakat Simalungun memindahkan tulang belulang kemungkinan karena terancam longsor atau perluasan kota dan yang terakhir adalah karena mungkin pemakaman bapak/ibu terpisah. Adat memindahkan tulang belulang ini boleh dilakukan kepada seseorang yang meninggal sari matua dan sayur matua.[28] Acara ini meliputi dua bagian yang pertama membangun pemakaman baru dan kedua memasukkan tulang belulang kedalamnya. Dalam acara memidahkan tulang-belulang ini hasuhuton menyampaikan seperangkat sirih pada tondong pamupus almarhum. Tujuannya mohon ijin agara tondong pamupus memberi nasehat pelaksanaan. Lalau tondong pamupus memberi nasehat sekaligus memegang cangkul dan menggali tiga kali cangkul tanda persetujuan. Cara menggali oleh tondong pamupus diikuti tondong lainnya serta hasuhuton dan cucu-cucu almarhum, kemudian diselesaikan oleh boru. Lalu tulang belulangnya diserahkan kepada tondong pamupus untuk diletakkan pada kain putih yang telah digendongkannya. Setelah selesai, tulang belulangnya dibersihkan dengan air yang telah dicampur dengan jeruk purut kemudian disusun dalam tapongan yang beralaskan gendongan tadi dan ditutup dengan kain putih dan tulang belulangnya disusun di dalam peti seperti sedia kala. lalu Liang kubur ditutup kembali dan di atasnya ditanam pisang kapuk. Satu di atas kepala dan satu lagi di atas letak tumit.[29] Setelah itu baru dipindahkan dalam pemakaman baru. Adapun arti dari ditanamnya pisang tersebut adalah supaya seluruh kehidupan keturunanya seperti tumbuhnya pisang tersebut yaitu bertumbuh, beranak cucu dan berbuah. Sebab memang menurut pandangan orang Simalungun seluruh bagian dari pisang itu bermamfaat.[30] Yang berikut adalah acara pesta peresmian kuburan. Adapun acara pesta kuburan ini disebut juga “pesta semen” terdiri dari beberapa kegiatan yang pada garis besarnya adalah:[31]
1.      Acara “horja manurun” (menguburkan kembali)
Sebelum horja manurun dilakukan, tulang belulang dimasukkanke dalam peti kayu yang telah tersedia, lalu dengan upacara khusus dimasukkan peti itu ke dalam kuburan yang baru. biasanya dalam acara ini didahului dengan doa dari pihak tondong atau pengurus Gereja. Sekembalinya rombongan dari kuburan yang baru, maka mereka akan disambut dengan bunyi gendang, lalu semua Suhut menari bersama diikuti setelah selesai baru dilanjutkan oleh boru..
2.      Menerima tamu undangan
Rombongan tamu undangan yang pertama menari adalah semua tondong, boleh sekaligus semua yang disebut tondong tetapi bisa juga masing-masing menurut rombongan, mulai dari “,tondong pamupus, tondong jabu, tondong bona, tondong mangihut,dan tondong ni tondong, masing-masing membawa beras seperlunya. Dalam acara ini biasanya rombongan tondong memberikan hiou adat (kain adat) sesuai dengan persiapan masing-masing. Dan rombongan yang lain seperti sanina, boru, dan anak boru mintori memberikan tuppak (sejumlah uang sebagai sumbangan)
3.      Makan bersama
Pada acara ini biasanya semua keluarga dekat dan panitia berkumpul, untuk menyelesaikan pikiran-pikiran tentang biaya kepada suhut ni horja (yang punya pesta). Biasa juga di adakan acara makan bersama sebagai ucapan terimakasih kepada semua orang yang telah letih bekerja demi suksesnya suatu pesta.

3.4 Konsep tentang Tonduy dan Tuah
            Orang Simalungun percaya bahwa roh orang yang meninggal tidak mati, melainkan beralih kepada suatu keadaan yang disebut dengan ­tonduy. Ia dapat dipanggil sewaktu melalui ritual khusus. Tonduy dipercaya dapat mendatangkan berkat apabila ia diperdulikan dan juga sebaliknya.[32] Hampir seluruh pelaksanaan adat pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari religi yang dianut dalam masyarakat-adat yang bersangkutan. Untuk masyarakat Simalungun, ada konsep tentang tonduy dan tuah. Suatu ungkapan menyatakan: martonduy na manggoluh, marbegu na dob matei, artinya, bahwa manusia yang hiduplah yang mempunyai roh, sementara orang yang sudah meninggal rohnya berubah menjadi semacam hantu. Belakangan ini konsep ini berubah sedemikian rupa sehingga orang meninggal sudah dianggap mempunyai roh (tonduy) yang harus dihormati.[33]
            Bagi masyarakat Simalungun tuah, tonduy dan begu mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Tonduy tidak pernah mengganggu makhluk lain, tetapi sebaliknya begu yang mengganggu makhluk hidup. Kebahagian manusia dan keberuntungannya dalam kehidupan di dunia ini ditentukan oleh tonduy. Istilah “pinindo” jelas menggambarkan adanya relasi antara kemauan tonduy dan kemauan manusia atas kenyataan-kenyataan hidup yang dihadapi dalam hal-hal tertentu. Dipahami juga bahwa tonduy dapat meninggalkan tubuh. Sehingga untuk membujuk kembali agar tonduynya  dapat kembali maka diperlukan usaha-usaha tertentu di antaranya: maranggir, padaskan sir ni uhur (memakan makanan yang dihajatkan), dan manonggot-nonggot. Kemarahan tonduy terhadap tubuh bukannya disebabkan oleh perbuatan-perbuatan yang jahat, melainkan perbuatan yang tidak mengacuhkan keinginan tonduy. Bisa saja tonduy  mendukung seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela tanpa mengganggu keseimbangan antara tubuh dan tonduy. Berdasarkan perbedaan tersebut dibuatlah mambere-berean dan membuat tangkal. [34]
Seseorang yang banyak anak, banyak harta dan tinggi martabat biasanya disebut martuah. Tuah ini dapat dipindahkan kepada orang lain. Tonduy  (sebenarnya begu-begu) orang seperti ini setelah ianya meninggal sering dipuja atau disembah (sinumbah) dengan acara-acara khusus. Dalam Kristen masyarakat Simalungun sekarang ini pun masih sering kita lihat sisa-sisa acara/usaha  meminta tuah dari nenek moyang yang telah meninggal baik acara yang dilakukan di pekuburan maupun acara penguburan itu sendiri.  Nampaknya seolah-olah hanya bersifat penghormatan kepada orang tua, tetapi pada hakikatnya berwujud permintaan tuah dari orang yang telah meninggal.[35]
            Dari pemahaman di atas jelas terlihat bagaima keyakinan akan orang Simalungun tentang adanya tonduy atau roh orang yang telah meninggal. Bahwa sebenarnya orang yang meninggal tersebut roh nya berubah jadi hantu. Itu sebabnya masyarakat Simalungun meyakini mereka masih dapat berkomunikasi dengan meninggal tersebut melalui acara khusus. Tonduy dapat memberikan yang baik jika memang mereka dperlakukan dengan baik begitu juga sebaliknya.

3.5 Pemahaman Masyarakat  Simalungun terhadap Penguburan
Anggapan orang Simalungun bahwa roh-roh orang mati masih hidup disuatu tempat dan akan selalu sehat-sehat kalau ia din puja keluarganya, sehingga tak heran jika para zendeling pada masa penginjilan mendapat kritikan tajam. Bagi para zendeling hungungan antara orang yang masih hidup dan mati sudah tidak ada lagi. Tuhan tidak pernah menganjurkan supaya orang hidup melakukan pemujaan kepada roh-roh orang meninggal melainkan hanya kepada Allah saja. Sebab Tuhan adalah bagin orang yang hidup dan yang mati.[36] Orang Simalungun tidak terima jika kuburan yang terkena siasat dikuburkan didekat perkampungan atau kuburan umum. Karena ada pemahaman bagi orang Simalungun bahwa rohnya akan mengganggu kehidupan penduduk.  Itu sebabnya orang yang terkena siasat akan dikuburkan jauh dari perkampungan karena dipandang dia bukan orang yang baik. Itu sebabnya ada kuburan orang yang dianggap baik dan ada kuburan bagi orang yang dianggap jahat.[37] Didalam pelayanan penguburan dipandang sebagai bagiann dari tugas gerja yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Bagi GKPS, tujuan penguburan adalah untuk memberitakan firman Tuhan tentang kematian dn kebangkitan serta memberi penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan.[38] Itulah sebabnya jika ada amggota keluarga jemaat meninggalGereja akan mewartakannya pada kebaktian minggu. Selama jenazah belum dibawa ke pemakaman, gereja mnegadakan kebaktian penghiburan. Itu didasarkan atas mufakat antara pihak keluarga yang meninggal dengan Majelis Jemaat setempat. Pendetalah yang melaksanakan pelayanan pengubran, tetapi tugas itu bisa juga diserahkan kepada para penatua Gereja. Dalam agama suku, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Melainkan beralih kepada suatu keadaan yang disebut dunia roh-roh atau dunia tonduy ini berada di huta parsaranan parpudi (kampong peristirahatan terakhir)
Setelah hal ini muncullah persoalan yang dihadapi oleh GKPS disekitar penguburan yang menyangkut kebiasaaan mangongkal holi (memindahkan tulang-belulang dari tempat lam ke tempat baru yang dibangun dengan biaya yang tidak sedikit). Apakah Alkitab membenarkan kegiatan seperti ini? Bagi mereka yang menerima biasanya mengacu kepada Musa yang membawa tulang-belulang Yusuf daari Mesir ke Tanah Kanaan (Kel.13:19). Masalahnya kemudian muncul ketika pengerja jamaat melihat bahwa kegiatan nmangongkal holi  itu sarat dengan ritual agama lama. Akhirnya GKPS merumuskan pemikiran teologisnya bahwa tulang belulang orang meninggal juga berharga bagi Tuhan. Dari pemahaman yang seperti ini dapatlah diterima kegiatan mangongkal holi dengan catatan , kegiatan itu dipahami hanya sebagai memindahkan tulang belulang atau tempat kuburannya tanpa melakukan ritual agama lain.[39]
Ketika A. Theis  tiba di Pematang Raya 2 September 1903, pada saat yang sama berlangsung upcara penguburan terhadap tuan Rondahaim Saragih,Raja Raya yang di juluki tuan na mabajan, artinya tuan yang sangat jelek dan kejam. Bgai A.Theis upacara penguburan ini menunjukkan betapa kegelapan menguasai orang Simalungun, karena yang mereka laukukan adalah pekerjaan kekafiran. Penguburan tuan Rondahaim merupakan orang Kristen yang pertama di Pematang Raya yang menarik bagi A. Theis. A. Theis masih mengijinkan kepada keluarga melakukan upacara adat seperti: menari disekitar jenazah dan member makan terahir kepadanya, namun mereka tidak diizinkan untuk melakukan ritual pemujaan roh-roh.[40]
Namun dalam kenyataannya tetap saja ritual pemujaan roh-roh itu tidak sepenuhnya hilang., meski dalam bentuk yang berbeda. Dalam agama suku, orang tua dan tondong (saudara istri) dipandang sebagai pembawa berkat, jadi ketika meninggal, roh mereka masih dianggap hadir memberi berkat dengan melakukan ritual khusus. Kini setelah pemujaan kepada berhala mulai terkikis Allah yang dipercaya orangKristen itulah pemberi berkat.  Dengan demikian Allah yang kini dipercaya lebih berkuasa dari orang tua atau tondong. Kematian tidak lagi dipandang sebagai peristiwa yang menakutkan dan membuat putus asa keluarga yang ditinggalkannya. Kematian tidak menghalangi kuasaAllah memberi berkat kepada orang yang percaya kepadanNya. Itulah sebabnya dalam peristiwa kematian, nyanyian-nyanyian gerejawi selalau dikumandangkan,baik sebelum jenajah dibawa ke pemakaman maupun setelah acara pemakaman.
            Dalam kepercayaan orang Simalungun, roh orang yang meninggal itu akan mendiami suatu tempat yang disebut huta parsadaan parpudi. Karena tempat itu sangat jauh dibumi, keluarga yang ditinggalkan dan kerabat orang meninggal itu diminta memberi bekal perjalanan kepada roh itu. Dalam perayaan upacara penguburan terutama pada orang tua yang berumur (sarimatua dan  saur matua), biasanya diadakan pesta yang meriah. Apalagi keluarga itu tergolong keluarhga berada dan bangsawan. Perayaan meriah seperti ini menghabiskan banyak biaya dan waktu yang panjang. Tetapi perayaan seperti ini adalah pertanda bahwa orang yang meninggal merupakan orang yang terhormat, dan keluarga yang ditinggalkan memiliki banyak harta. Dalam perkembangan kemudian muncullah serangkaian permasalahan di sekitar upacara kematian dqan penguburan. Para zendeling mememperketat pelaksanaan upacara tersebut. Yaitu para zendeling melaranguntuk menari dan menggerak-gerakkan tangan diatas jenazah, permainan musik yang dapat membangkitkan orang siar-siaron(histeris), memasukkan benda-benda tertentu kedalam peti jenazah, berbicara kepada jenazah, dan sebagainya. Selain itu juga ditetapkan kepada sia Dari penjelasan diatas terlihat dahulunya masih terjadi dalam acara penguburan orang yang masih hidup berbicara kepada jenazah. Penulis melihat praktak kekafiran sampai sekarang maih berlangsung. Misalnya bentuknya dalam doa, namun isi doa cenderung memberi penguatan kepada roh orang meninggal supaya sukses berjumpa dengan Allah di surga. Upacara penguburan pun berlangsung dalam bentuk Kristen, tetapi masih saja ada anggota jemaat menyelipkan sesuatu kedalam peti jenazah simati. Supaya rohnya tidak kehilangan arah menuju tempat kediaman Allah. Dan belakangan ini GKPS tidak mengijinkan jemaatnya memasukkan benda-benda tertentu kedalam peti jenazah untuk menghindarkan pemahaman yang keliru tentang arti kematian dan penguburan

3.6 Sejarah Berkembangnya Pendirian Tugu di Simalungun
3.6.1 Sekilas Pendirian Tugu di Batak Toba
Pada awalnya budaya Batak Toba belum mengenal istilah tugu, tetapi dahulu yang ada hanyalah “tambak” yaitu Makam (kuburan) yang ditingggikan dengan menyusun bungki (Lempengan  Tanah) dimakan orang tua yang sudah mempunyai banyak keturunan. Baik tingkatan tambak, maupun lapisan lempengan tanah adalah harus bilangan ganjil misalnya 3,5,7 tingkat. Sesuai dengan perkembangan zaman dan dengan mulai maraknya pendirian monument-monumen perjuangan maupun sejarah maka pembuatan tambak itu ditingkatkan menjadi batu na pir (batu yang kuat) yakni makam yang sudah terbuat dari beton, batu na pir ini suda dapat memuat beberepa tulang belulang. Jadi dapat dikatakan bahwa berdirinya tugu ditanah batak adalah pengaruh modernisasi. Pada waktu perang dunia ke II masyarakat batak belum mengenal istilah tugu. Yang ada hanyalah kuburan-kuburan yang ditnggikan dengan bentuk semen dalam berbagai bentuk. Adakalanya semen dan beton ini berbentuk manusia  atau berbentuk lain yang dibangun diatas kuburan yang sudah ditinggikan. Sesudah kemerdekaan Negara kita, tugu-tugu kemerdekaan dan kepahlawanan dibangun dimana seperti tugu raja Sisingamangaraja di Sopo Surung, Balige. Jadi pembangunan tugu menjadi inspirasi kepada orang Batak dalam usaha membangun tugu sebagai lambang penghormatan kepada orang tua. Adapun arti dan makna pendirian tugu bagi masyarakat Batak Toba adalah
A. Fungsi Fisikologis
Melalaui acara khusus untuk tondy dan penggalian tulang belulang orang batak mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Mereka ingin menhindari bencana, penyakit dan bahaya, dan juga ingin mendapatkan kekayaan, tanaman yang subur,banyak anak dan damai sejahtera dalam kehidupan sehari-hari. Para keturunan diyakinkan dengan acara seperti ini mereka akan memperoleh bantuan dari leluhurnya, bukan hanya keselamatan, tetapi juga untuk permintaan berkat.[41]
B Fungsi Sakralisasi
Semua nenek moyang dihormati oleh keturunannya, khusus pada waktu hidup, tondy mereka sangat diperhatikan dan begitu juga setelah mati juga mash dipuja oleh keturunannya. Orang batak sangat menghargai kehidupan manusia pada waktu hidup dan sesudah mati. Hal ini terklihat jelas dalam ungkapan “martondi na mangolu, marsumangot dung mate” artinya memiliki tondi pada waktu hidup dan memiliki sumangot setela meninggal.[42] Suku batak sangat terkenal dengan mencapai kekayaan, keberhaslan dan kemuliaan. Dan setelah keberhasilan itu diraih dalam berbagai bidang sehingga memberikan dorongan untuk memberikan ucapan syukurkepada para leluhurnya.dengan melakukan pemujaan kepada roh-roh leluhurnya atas segala berkat yang diterimanya. Penghormatan tertinggi yang diberikan kepeada leluhurnya dilakukan dengan membangun tugu.[43]
C Fungsi Transendental
Melalui pendirian tugu dan penggalian tulang belulang dan berbagai pemberian sesajen. Arwah nenek moyang orang batak akan semakin tinggi kedudukannya melalaui upacara-upacara tersebut. Jika orang batak belum melaksanakannya yaitu penggalian tulang belulangnya, seolah-olah mereka masih mempunyai utang, tetapi jika mereka telah melaksanakannya maka mereka akan merasa aman dan percaya akan diberkati.
D Fungsi Identifikasi
Fungsi ini sangat menonjol ditanah batak dimana mereka melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga dan melalui hal tersebut mereka menunjukkan identitas keluarga selain daripada mempersatukan kembali hubungan keluarga yang retak dan mempererat kesatuan dalam keluarga. Dilain pihak, penggalian tulang belulang menunjukkan bahwa mereka sudah banyak yang kaya dan mempunyai jabatan.  Kita juga dapat melihat sisi positif dari pembangunan tugu ini yaitu untuk membangun suatu sarana untuk meneguhkan kembali ikatan rohani, ikatan solidaritas yang kuat dan bias mengenal asamuasal leluhurnya. Tetapi sisi yang menyalahi yang diyakini mereka bisa membangun persekutuan antara seluruyh keturunan dengan roh-roh leluhurnya, yaitu persekutuan dengan roh yang mati yang kemudian diteguhkan kembali dalam diri generasi yang hidup jauh dimasa belakang. [44]
E Pameran Gengsi Sosial
Seperti yang sudah kita ketahuibbahwa ada tiga “H” dalam masyarakat batak Toba yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon merupakan idaman seluruh batak toba oleh sebab itu salah satu hamoraon, hagabeon, hasangapon suku batak terletak pada megahnya tugu para leluhurnya, bahkan dari pemantaun penulis bahwasanya tugu ini dijadikan ajang perlombaan terkhusus bagi marga-marga, dimana kemewahan dan kemegahan tugu leluhurnya merupakan kebanggan besar bagi mereaka. Dan jika kita melewati kampung Simanindo disana terlihat tugu-tugu mewah yang walaupun perumahan wartga tidak begitu mewah,
Salah satu budaya tertua manusia yang ternyata dilakukan oleh manusia modern sekarang ini adalah penghormatan kepada leluhur yang suda meninggal tahun 2000-1500 SM penghormatan itu dilakukan terhadap leluhur  yang pada masa kehidupannya dianggap berjasa, pemimpin atau pahlawan dalam peperangan. Bentuk penghormatan itu dilakukan dengan membuat sarkopagus megalitis.[45] Dimana tempat belulang tersebut dipahami sebagai tempat keramat sehingga menjadi tempat dan media komunikasi anatara manusia yang hidup dengan leluhurnya yang sudah meninggal dunia.[46] Sama halnya dengan kalangan batak yaitu untuk mendirikan tambak  atau batu na pir. Leluhur yang sudah meninggal pada tahun yang lalu digali kembali dan tulang belulangnya ditempatkan kedalam Tambak.[47] Orang batak membuka kuburan-kuburan tanah yang sementara, sesudah lewat waktu pembusukan yang dianggap perlu, lalu mengangkat tulang-tulang dari dalamnya  yang menempatkannya dalam suatu kuburan semen dengan mengadakan upacara tertentu.[48]
            3.6.2 Sejarah Pendirian tugu di simalungun
Dalam sejarah berkembangnya pendirian tugu di simalungun secara benar, sulit untuk menuliskannya secara pasti. Tapi ada beberapa faktor yang ingin penulis sebutkan bahwasanya kebudayaan itu tidaklah bersifat statis tetapi kebudayaan itu bersifat dinamis. Ada beberapa faktor berkembangnya pendirian Tugu di simalungun, yakni:
A.                           Pendirian tugu dahulunya adalah budaya Batak Toba, tetapi pada akhir-akhir ini pendirian tugu sudah mulai berkembang di Simalungun. Hal ini berkembang karena memang orang Simalungun bukan berdasarkan atas marga. Tetapi orang Simalungun itu disebut jika seseorang itu Mar-ahap Simalungun. Sehingga memang pendirian tugu tersebut sering dilakukan di Simalungun.
B.                           Hal lain juga, Ada anggapan penulis bahwasanya pendirian tugu ini lanjutan daripada acara mangongkal holi-holi/ saring-saring ni namatoras (memindahkan tulang belulang orang tua) namun konsepnya telah dipengaruhi oleh Batak Toba. Walaupun sebenarnya pendirian tugu itu berbeda dengan  upacara mangongkal holi. Namun dari kedua hal ini ada kemiripan yaitu pemindahan tulang belulang. Sehingga masyarakat Simalungun dapat menerima pendirian tugu tersebut.
C.                           Salah satu yang harus diakui oleh masyarakat Simalungun adalah jumlah penduduk Batak Toba lebih dominan di tanah Simalungun daripada masyarakat Simalungun sendiri. Secara tidak langsung pengaruh dari budaya Batak Toba tersebut mewarnai budaya Simalungun. Meskipun kabupaten Simalungun adalah tanah leluhur orang Simalungun, namun belakangan ini secara statistik orang Simalungun hanyalah peringkat mayoritas ke-tiga, setelah orang jawa dan orang yang berasal dari Toba. Kecilnya jumlah populasi orang Simalungun di tanah leluhurnya membawa masalah tersendiri dan membuat semakin terdesaknya eksistensi budaya orang Simalungun.[49] Salah satu contoh yang dapat penulis perlihatkan adalah ketika kita memberikan makanan dalam acara adat tidak lagi memakai  Dayok Nabinatur, Hambing siopat nahei atur menggoluh ibagas talam  melainkan orang telah memberikan babi dalam acara adat.
D.                           Ditambah lagi dengan kepribadian orang Simalungun  memiliki kepribadian jenis Phlegmatis. Yakni lebih banyak mengevaluasi dan berfokus pada diri sendiri daripada mengomentari orang lain sehingga budaya yang lain mudah untuk menerobos budaya Simalungun itu sendiri. Sehingga pada akhiranya pendirian tugu itu berkembang di Simalungun..  Masyarakat Simalungun juga telah banyak menikah dengan orang batak Toba. Sehingga terjadi percampuran budaya Simalungun dengan budaya Batak toba.
E.                            Masyarakat Simalungun melihat dampak positif dari pendirian tugu tersebut yaitu untuk mempererat hubungan diantara  beberapa  generasi ke generasi. Sehingga hal ini merupakan Sesuatu hal yang dapat dilakukan untuk mengenal diantara beberapa keturunan.
F.                            Masih kuatnya keyakinan terhadap kepercayaan kepada Nenek moyang. Di mana masih adanya hubungan antara orang yang hidup dengan orang yang sudah meninggal.. sehingga perlu rasanya adanya penghormatan dan komunikasi dengan orang yang sudah meninggal. Yang dipandang juga bisa mendatangkan berkat bagi orang yang menghormati leluhurnya.
G.                           Pendirian tugu ini juga berkembang diakibatkan perekonomian suatu keluarga itu sudah dikatakan mapan ditambah lagi keberhasilan dari suatu keluarga. Sehingga sering ditemukan upacara pendirian tugu dengan biaya yang cukup mahal. Sehingga menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang yang melakuaknnya. Semakin banyak biaya yang dikeluarkan dalam acara tersebut menunjukkan betapa besarnya mereka menghormati para leluhurnya.
H.                           Pendirian tugu ini dilakukan untuk mengenal diantara beberapa keturunan, atau mengenal identias suatu keluarga tersebut.

3.7. Pengertian Tugu Menurut Orang Simalungun
  1. Djomen  Purba
Beliau merupakan ketua Yayasan Museum simalungun yang berada di pematang siantar. Dan juga Ketua Forkala kabupaten Simalungun. Beliau berpendapat bahwasanya pedirian tugu itu merupakan suatu tanda pengormatan kepada leluhur yang dibangun  guna memperingati jasa-jasa dan sebagai penghormatan kita kepada leluhur. Penghormatan kepada leluhur tersebut sesuai dengan falsafah Simalungun yaitu Habonaron do Bona. Menurut beliau namanggoluh atap matei pe dosdo bani Tuhan yang artinya yang hidaup dan mati samanya  bagi Tuhan. Itu sebabnya menurut beliau penghormatan kepada leluhur dengan cara mendirikan tugu merupakan seseorang itu menjalankan Hukum Taurat yang Ke-5. adapun hal lain  pendirian tugu ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kita kepada para pejuang. Dengan tujuan agara generasi berikutnya mengenal dan mengharagai para pejuang terdahulu sehingga itu menjadi suatu cerminan bagi dia dalam berbangasa dan bertanah air.[50]

  1. Rikanson J.Purba
Beliau merupakan salah satu Presidium Partuah Maujana Simalungun serta anggota Departemen Politik dan Otonomi Daerah. Dalam hal pendirian tugu disimalalungun beliau berbeda pendapat dengan Drs Jomen Purba. Menurutnya pendirian tugu tersebut bukan merupakan salah satu budaya simalungun. Tetapi Masyarakat Simalungun mengadopsi Hal tersebut dari budaya Batak Toba. Hal ini didasari oleh percampuran budaya dan juga masyarakat Simalungun telah banyak menikah dengan orang Batak Toba. Sehingga budaya itu bercampur baur. Hal lain juga yang menyebabkan pendirian tugu di Simalungun adalah untuk mempersatuakn kembali keturanan atau marga yang sudah tida saling kenal lagi disebabkan oleh perbedaan tempat. Misalnya Tugu Purba Pakpak yang berada di huta raja. Pendirian tugu ini dilakukan untuk membangun suatu system kekerabatan diantara generasi ke genarasi sehingga mereka tidak kehilangan identitas. Tetapi menurut beliau juga masih ada beberapa masyarakat Simalungun membangun tugu masih diwarnai dengan kepercayaan kepada para nenek moyang yang dapat mendatangkan berkat bagi yang mendirikannya. Tetapi hal ini seharusnya harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Iman Kristen. [51]

  1. Sortaman Saragih
Kata tugu bagi orang Simlaungun sudah ada mulai dari dulu. Bagi orang Simlaungun pengertian tugu adalah hanya sebagai tanda peringatan. Justru Pendirian tugu itu dilakukan jika tulang belulangnya tidak dapat ditemukan lagi. Oleh sebab itu sebagai penggantinya dimasukkan sedikit tanah kedalam tugu tersebut. Dahulu jika ada seseorang yang hilang atau tidak diketahui keberadaannya dan sudah diperkirakan meninggal majka didirikanlah tugu sebagai tanda peringatan baginya. Sebab memang pendirian tugu bagi Simalungun berbeda dengan pendirian tugu bagi Batak Toba. Bagi orang Toba pendirian tugu itu dilakukan sebagai tanda keberhasilan satu keluarga. Sehingga dibangunlah tugunya dengan megah dan pesta yang meriah.i. tetapi bagi orang Simlaungun tugu itu hanya sebatas tanda peringatan.[52]

  1. Syahmawim Purba
Beliau merupakan sorang pengamat budaya Simalungun. Adapun pendapatnya tentang pengertian tugu adalah suatu bangunan yang didirikan guna memperingati suatu pejuang. Namun menurut beliau tugu itu nyaris tanpa makna bagi orang Simalungun, sebab memang tugu itu bukan merupakan budaya Simaungun. Menurutnya, jika memang tugu itu penting bagi masyarakat Simalungun sudah pasti tugu para pejuang Simalungun itu dilestarikan.[53] Beliau memperjelas lagi bahwasanya tugu itu seperti tugu Monas yang ada dijakarta.

E. Rabana Saragih Garinging
Tugu yang dipahami oleh masyarakat simalungun sendiri adalah hanya sebuah tanda pringatan. Beliau menjelaskan Dahulunya  masyarakat simalungun menggunakan kata Ballei, yaitu tempat penyimpanan barang-barang peninggalan para kerajaan. Dan sama sekali tidak mengenal Tugu. Mengenai pendirian Tugu di Simalungun beliau berpendapat kita hanya mengikuti apa yang dlakukan oleh Batak Toba. Tugu yang dibangun disimalungun hanyalah sebuah pengenangan ataupun tanda. Misalnya tugu Monumen yang di Rawang dekat Panei Tongah Tugu ini dibangun disebabkan jatuhnya pesawat dan beberapa diantaraya meninggal, maka untuk itu dibangunlah Tugu sebagai tanda bahwasanya ditempat itu pernah pesawat terjatuh. Jadi Tugu yang dibangun di Simalungun berbeda dengan tugu yang ada didaerah Batak Toba.[54]

  1. Jamansen Purba Tambak
Beliau merupakan  salah satu yang mendirikan tugu di Simalungun yang bertempat di Marube  yaitu Tugu Purba Tambak. Tugu tersebut didirikan pada tahun 1962 dan pada tahun terakhir ini tugu tersebut direnovasi kembali. Beliau berpendapat bahwa tugu itu adalah suatu tanda penghormatan kepada nenek moyang yang telah meninggal. Beliau menjelaskan bahwasanya arti dan makna tugu tersebut hanya sebatas penghormatan kita kepada leluhur. Dan juga sebagai pemersatu di antara keturunan. Namun tidak dapat dipungkiri masih ada juga orang Simalungun yang memberikan sesuatu kepada orang yang sudah meninggal. Misalnya memberikan makanan, rokok, sirih sekalian mengucapkan yang ada dalam hatinya. Artinya adanya komunikasi dengan orang yang sudah meninggal. Hal ini terjadi ketika seseorang itu berjiarah  kemakam maupun ke tugu leluhurnya. Dan salah satu penghormatan kita kepada leluhur yang dilakukan adalah mendirikan “rumahnya” (tugu). Tetapi beliau mempertegas bahwa sebenarnya berbicara kepada leluhur, meminta berkat kepada leluhur sudah bertolak belakang dengan Iman Kristen. Beliau melihat bahwasanya pendirian tugu itu dengan sewajarnya tidak menyalahi namun yang menyalahi adalah motif pendirian tugu tersebut. [55]



[1] . Kenan Purba dan J.D. Poerba, Op.Cit., 1-6
[2] Ibi., 2
[3]  Jahutar Damanik, Jalannya Hukum Adat Simalungun, Simalungun: TP, 1987, 27-28
[4] K. Sipayung, ”Simalungun”, Jubileum 75 tahun 2 September 1903-1978, P. Siantar: Pimpinan Pusat GKPS, 14
[5] Sortaman Saragih, Orang Simalungun, Jakarta: Citama Vigora, 2008, 20-21
[6] Jan Jahaman, Salib dan Sirih, Disertasi, STT Jakarta, 2009, 17
[7] Jahutar Damanik, “Evaluasi Kebudayaan Simalungun”, dalam,  Harunggunon Bolon Partuah Maujana Simalungun ke-3, Pematang Siantar, 28-29 agustus 1987 (Pematang Siantar: Partuah Maujana Smalungun,1987,16 )
[8] Jan Jahaman, Op.Cit, 18
[9] Jahutar Damanik, Op.Cit., 22
[10] Presidium  Partuah Maujana Simalungun “Falsafah Budaya Simalungun”, Salmon Sinaga (ed), dalam Adat Ni SImalungun, Pematang Siantar: TP, 2002, 1 Presidium  Partuah Maujana Simalungun, Adat ni Simalungun, Salmon Sinaga (ed), Pematang Siantar: TP, 2002, 1
[11]  Tondong dalam makna simbolis falsafah adat Simalungun, dianggap sebagai naibata na tarida (Allah yang terlihat) dan dalam hukum adat Simalungun Raja dianggap tuhan yang nampak. Artinya kalau dianggap ada tuhan Allah yang nampak, tentu sebaliknya ada Tuhan yang tidak nampak. Raja dan tondong disebut tuhan karena dianggap mempunyai kekuasaan, tondong bgersedia menyerahkan anak perempuan darah dagingnya, untuk perkembangbiakan orang lain, berarti ini merupakan suatu pengorbanan.
[12] Presidium  Partuah Maujana Simalungun, Op.Cit., 1
[13] Filosofi habonaron do bona tercatat pertama sekali kurang lebih abad ke-XV, dalam pustaka kuno Simalungun “pustaka parmungmung Bandar syah kuda”. Dalam pustaka ini dijelaskan asal usul seloka habonaron do bona” dikisahkan bahwa pada suatu waktu kerajan Nagur mendapat serangan dari Kerajaan Samidora. Terjadi pertartungan sengit antara Sang Ma Jadi sebagai putra mahkota Kerjaan Nagur, dengan putra mahkota Kerajaan Samidora yang hendak menguasai kerajaan Nagur. Karena Sang Ma Jadi adalah pihak yang benar dalam peperangan ini maka mereka mendapat pertolongan dari Naibata, yakni dari langit turun seekor burung Naggordaha (burung Garuda) melerai pertarungan tersebut. Saat pertikaian terdengar suara serua sebanyak tiga kali yang mengucapkan “habonaron do bona, habonaron do bona, habonaron do bona ”. namun hasrat putra mahkota Samidora tidak terbendung lagi ingin menguasai kerajaan Nagur sehingga tidak perduli dengan seruan tersebut. Dia berusaha dengan sekuat tenaga menakhlukan putra mahkota kerajaan Nagur. Akhirnya burung Nanggordaha marah, dan membunuh putra mahkota kerajaan Samidora. Sejak saat itulah habonaron do bona menjadi filosofi bagi masyarakat Simalungun.( Sortaman saragih, Orang Simalungun, Depok: CV Citama Vigora, 2008, 145)
[14] Sortaman saragih, Orang Simalungun, Depok: CV Citama Vigora, 2008, 144
[15] Ibid., 149
[16] Yustinus Selamat Antono, Op. Cit., 31-32
[17] Rudolf pasaribu, Agama Suku dan Batakologi, Medan : Penerbit Pieter, 1998, 35
[18] Ibid.,  60
[19] Henry Guntur Tarigan, Struktur Sosial  dan Organisasi Masjarakat Simalungun , Bandung :Tanpa Penerbit, 1971, 53
[20] Yustinus Selamat Hantono, Op. Cit., hlm. 124
[21] Jan. J Damanik, Op.Cit., 61
[22] Bnd Martin L. Sianaga, Identitas Poskolonial , hlm 45, bnd Juga Simon Rae, Breath Becomes the Wind Old and New in Karo Religion, Dunedin New Zealand: University of Chichago, 1994, hlm. 18-19
[23] Jahutar Damanik, Hukum Adat Simalungun, 1974,  hlm. 183
[24] Ibadat Baal yang dimaksud adalah ajaran yang menganggap tiap benda mempunyai roh, maksudnya manusia-manusia penganutnya disebut penyembah berhala. Ibadat baal telah menghayati kepercayaan manusia ditengah-tengah masyarakat dalam kerajaan babylonia Raja Hamurambi di asia kecil pada zaman perunggu 
                [24] Natalias, Ismulyadi (ed) Millenium the Story Of Chritianity, Menelusuri Jejak Kristianitas, Yogyakarta: Kanisius, 2006, 17
[25] Jahutar Damanik, Op. Cit., 168
[26] T. B. A. Purba Tambak, Sejarah Simalungun, Pematang Siantar: TP, 1982, 134-135
[27] D. Kenan Purba, Adat Istiadat Simalungun, Pematang Siantar: Bina Budaya Simalungun, 1997, 130
[28] Japiten Sumbayak, Op.Cit., 78
[29] Ibid., 80
[30] … “Falsafah Budaya Simalungun”, Salmon Sinaga (ed), dalam Mangongkal holi, 155
[31] D. Kenan, Op.Cit., 134
[32] Jan J. Damanik, Op.Cit., 63-64
[33] K. Sipayung, “Simalungun ”, dalam Jubileum 75 Tahun, 2 September 1903-1978 GKPS,  Pematang Siantar: Kolportase GKPS, 1978, 7
[34] K. Sipayung, “Simalungun ”, Ibid.,  7

[35] K. Sipayung, “Simalungun ”, Ibid.,  7
[36] Bnd. J. Wismar Saragih, “Seng idjon Ia, Domma puho Ia”, dalam, Tadah ni Tonduyta, Renungan 20 April 1964
[37] Wawancara dengan St.Janeka Saragih di Sigodang pada tanggal 6 juni 2011
[38] Lih, Peraturan Penguburan I GKPS, 1975. Bab I psl 2
[39]  Peraturan Penguburan I GKPS, 1975. Bab IV, psl 15 ay.1 dan 2
[40] Jan Jahaman, Salib dan sirih,hlm.362
[41] O. Siahaan, “Mengasihi Masyarakat Menggarami Kebudayaan Batak dengan Firman,  dalam A.A Sitompul, Injl dan Tata Hidup, Jakarta: BPK-GM, 2002, hlm. 123
[42] R.P Tampubolon, Pustaka Tumbaga Holig, Jakarta: Dian Utama, 2002, hlm.149
[43] Henri James Silalahi, Upacara Adat Batak, Medan: KKM, 2000, hlm. 275
[44] Ibid hlm.79
[45] Sakrofagus megalitis adalah tempat belulang leluhur bagi suku bangsa purba  yang biasanya dilakukan melalui suatu acara ritual yang kemudian menjadi suatu pesta kegembiraan bagi keturunan leluhur tersebut.
[46] Darwin Lumban Tobing, Teologi Pasar Bebas, Pematang Siantar: L-SAPA, 2008, hlm.350-351
[47] Ibid., 349
[48] Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, suatu studi perbandingan anthoropologis-misiologis tentang penyembahan Nenek Moyang di Indonesia (Minahasa, Sumba, Batak dan Korea), Yogyakarta,Media Presindo, 2001, 137
[49] Sortaman Saragih, Op Cit, 22
[50] Jomen Purba, Wawancara, Pematang Siantar, 16 Mei 2011
[51] Rikanson P. Purba, wawancara melalui telepon seluler, Pematang siantar, 4 juli 2011
[52] Sortaman Saragih, Wawancara Via Telepon, Medan, 16 Mei 2011
[53] Syahmawim Purba , wawancara melaluiVia  telepon seluler, Medan, 4 juli 2011
[54] Rabana saragih Garingging (Cucu dari pada Tuan Rondahaim),  wawancara. Aman Raya, 21 Mei 2011
[55] Jamansen Purba Tambak, Wawancara Via Telepon,  Medan, 29 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar